Komunitas Cina Benteng: Menjaga Tradisi dalam Arus Modernisasi

Komunitas "Cina Benteng" yang terletak di Tangerang, Banten. Foto Dok/Net --

Radarlambar.bacakoran.co - Komunitas "Cina Benteng" yang terletak di Tangerang, Banten, merupakan salah satu contoh menarik dari sebuah kelompok etnis yang mampu mempertahankan tradisi leluhur mereka meskipun terpengaruh oleh modernisasi.

Meskipun jumlah mereka semakin berkurang, kehidupan sehari-hari masyarakat Tionghoa di Tangerang tetap mempertahankan ciri khas budaya yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda.

Salah satu contoh kehidupan komunitas ini dapat ditemukan di Kampung Cukanggalih, sebuah desa yang dihuni oleh banyak petani keturunan Tionghoa. Rumah-rumah mereka memiliki desain yang khas, dengan halaman yang digunakan untuk menjemur padi dan alat tradisional pengurai kulit padi yang masih dipertahankan.

Bahkan, meskipun mesin penggiling padi modern telah menggantikan peran alat tradisional, banyak rumah yang masih menyimpan barang-barang seperti penggiling padi yang digerakkan dengan kerbau. Rumah-rumah ini juga menampilkan elemen-elemen arsitektur tradisional Tionghoa, seperti penggunaan pasak sebagai pengganti paku serta keberadaan paseban—ruang terbuka yang digunakan untuk pertunjukan seni tradisional.

Paseban ini adalah ruang yang penuh makna, sering digunakan untuk menyelenggarakan pertunjukan gambang keromong dan cokek, dua jenis seni yang menjadi simbol identitas komunitas "Cina Benteng". Konon, di masa lalu, paseban menjadi tempat khusus bagi laki-laki yang datang untuk melamar gadis-gadis setempat. Sekalipun telah ada banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat, keberadaan paseban ini tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya.

Komunitas "Cina Benteng" di Tangerang memiliki sejarah yang panjang, yang bermula sejak masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. Mereka pertama kali bermukim di kawasan Tangerang setelah pemberontakan besar masyarakat Tionghoa pada tahun 1740, yang menyebabkan banyak orang Tionghoa melarikan diri ke Tangerang untuk menghindari pembantaian. Hingga saat ini, banyak di antara mereka yang mempertahankan identitas etnis Tionghoa mereka meskipun secara fisik sulit dibedakan dengan masyarakat lokal yang ada di sekitar mereka.

Istilah "Cina Benteng" sendiri merujuk pada masyarakat Tionghoa yang tinggal di Kota Tangerang, yang pada masa lalu dikenal dengan nama Benteng. Sementara itu, masyarakat yang tinggal di luar kota, yang mayoritasnya berasal dari daerah pedesaan, sering disebut sebagai "Udik". Meskipun ada pembagian ini, hubungan antara warga "Cina Benteng" dan masyarakat lokal sangatlah harmonis. Mereka saling menghargai dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari, sering kali tanpa ada sekat yang membedakan.

Salah satu ciri khas masyarakat "Cina Benteng" adalah kesetiaan mereka terhadap tradisi leluhur. Di banyak rumah, kita masih dapat menemui berbagai ritual tradisional yang dilakukan dengan penuh rasa hormat. Salah satunya adalah tradisi kawin ciotau, yang kini lebih dikenal sebagai upacara pernikahan tradisional Tionghoa yang lengkap dengan pakaian adat dan serangkaian ritual.

Selain itu, upacara kematian yang rumit dan penuh makna juga masih dilaksanakan dengan cara yang sangat khas, di mana orang tua yang sudah lanjut usia bahkan telah mempersiapkan peti jenazah untuk diri mereka sendiri sebagai tanda bakti anak-anak mereka.

Menariknya, meskipun masyarakat "Cina Benteng" sangat menjunjung tinggi tradisi, mereka juga mulai beradaptasi dengan modernisasi. Banyak anak-anak dari komunitas ini yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, terutama di Jakarta.

Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak menutup diri terhadap perkembangan zaman, meskipun mereka tetap bangga dengan akar budaya mereka. Foto-foto wisuda anak-anak mereka sering dipajang dengan bangga di dinding rumah sebagai bukti pencapaian mereka dalam dunia pendidikan.

Perayaan-perayaan penting seperti pesta perkawinan atau ulang tahun juga tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Pesta perkawinan, misalnya, biasanya dirayakan selama tiga hari dua malam, dengan hidangan halal pada hari pertama untuk tamu yang beragama Muslim, dan hidangan yang mengandung babi pada hari kedua dan ketiga untuk tamu yang berasal dari kalangan Tionghoa. Semua ini diiringi dengan musik gambang keromong dan cokek, yang menjadi simbol identitas budaya mereka.

Namun, di tengah tradisi yang mereka pelihara, masyarakat "Cina Benteng" juga semakin terbuka terhadap dunia luar. Tangerang yang semakin modern dan terbuka dengan pengaruh budaya global, membuat komunitas ini sedikit demi sedikit menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Seiring dengan semakin berkembangnya kota ini, tidak jarang kita mendengar keluhan dari beberapa individu yang merasa identitas mereka sebagai "Cina Benteng" mulai terancam oleh arus perubahan yang begitu cepat.

Namun demikian, meskipun berada di tengah arus globalisasi, masyarakat "Cina Benteng" tetap merasa bangga dengan identitas mereka. Mereka menyadari bahwa meskipun label "Cina Benteng" seringkali disamakan dengan identitas etnis Tionghoa lainnya di Indonesia, mereka memiliki keunikan tersendiri yang membedakan mereka dari kelompok etnik lain. Mereka menganggap diri mereka sebagai bagian dari masyarakat pribumi Tangerang, karena mereka telah lama tinggal dan berkembang di wilayah tersebut.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan