Membangun Generasi Cinta Tanah Air melalui Pendidikan yang Berbasis Lokal

Sri Wahyaningsih pendiri Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta. Foto/net--

Radarlambar.bacakoran.co -Pendidikan di Indonesia selama ini dinilai kurang memperhatikan konteks lokalitas dan keragaman budaya yang ada di tiap daerah. Sri Wahyaningsih, pendiri Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kurikulum pendidikan yang cenderung menjauhkan siswa dari lingkungan mereka sendiri. Dalam acara Refleksi Kebudayaan yang berlangsung di Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri menyampaikan bahwa meskipun Indonesia adalah negara kepulauan, kurikulum pendidikan di Indonesia tidak cukup mengedepankan pemahaman terhadap lingkungan geografis dan kebudayaan lokal.

Sri menjelaskan bahwa Indonesia sebagai negara maritim dan agraris masih bergantung pada impor barang-barang tertentu, termasuk bahan makanan pokok. Ia berpendapat bahwa hal ini mencerminkan ketidaksesuaian antara apa yang diajarkan di sekolah dan kenyataan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia. Menurutnya, setiap daerah di Indonesia memiliki budaya yang mengajarkan cara bertahan hidup di lingkungan lokal, namun kurikulum yang ada justru tidak menghubungkan siswa dengan aspek-aspek tersebut.

Hilmar Farid, mantan Direktur Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga memberikan pandangannya tentang pendidikan yang ideal untuk Indonesia. Ia menjelaskan bahwa untuk menciptakan kurikulum yang sesuai, pendidikan harus mampu mencerminkan keragaman budaya dan lokalitas yang ada di Indonesia. Hilmar menyoroti kecenderungan dalam pendidikan Indonesia yang sering menasionalisasi segala hal, tanpa menyadari bahwa keberagaman lokal justru merupakan bagian yang tak terpisahkan dari identitas nasional. Dalam banyak kasus, pembelajaran mengenai lokalitas lebih sering dimasukkan dalam mata pelajaran muatan lokal (mulok), yang sebenarnya bisa menjadi wadah yang efektif untuk mengenalkan kebudayaan dan pengetahuan lokal. Namun, menurut Hilmar, pelajaran muatan lokal justru sering dipandang sebelah mata dan tidak mendapat perhatian yang memadai.

Hilmar juga menyadari bahwa meskipun ada upaya untuk merancang kurikulum yang mencakup keberagaman Indonesia, tantangan yang dihadapi tetap besar. Indonesia yang memiliki lebih dari seribu suku bangsa, ratusan bahasa, serta ribuan pulau yang terpisah, menjadikan pemahaman terhadap realitas lokal dan pengenalan budaya antar daerah sangat terbatas. Ia mengungkapkan bahwa masalah ini semakin kompleks dengan adanya kesulitan dalam menyediakan tenaga pengajar yang kompeten dan bersedia mengajar di daerah-daerah terpencil.

Meskipun demikian, Hilmar tetap optimis bahwa pendidikan di Indonesia harus lebih mengakomodasi kebudayaan lokal. Menurutnya, penting untuk mengubah sistem pendidikan agar lebih relevan dengan kehidupan masyarakat setempat. Sistem pendidikan yang tidak mengenal lokalitas sering kali menjadi faktor yang mendorong pemuda untuk meninggalkan kampung halaman mereka. Hilmar menjelaskan bahwa pendidikan yang tidak mengenalkan nilai-nilai lokal dengan baik akan membuat siswa merasa perlu mencari peluang di kota besar atau bahkan di luar provinsi, dan banyak di antaranya tidak kembali lagi ke daerah asal.

Dengan demikian, penting bagi sistem pendidikan di Indonesia untuk memperhatikan keberagaman lokal dan mengintegrasikan pengetahuan tentang kehidupan sehari-hari masyarakat. Jika pendidikan dapat lebih relevan dengan kondisi lokal, maka siswa akan tidak hanya terampil secara akademis, tetapi juga memiliki rasa bangga dan cinta terhadap budaya serta lingkungan mereka. Untuk itu, pendidikan yang mengakomodasi keberagaman budaya dan lokalitas akan sangat penting dalam menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga mencintai tanah air dan budaya mereka. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan