Sektor Usaha RI Terancam Dampak Tarif Resiprokal Trump

Foto: Presiden AS Donald Trump memegang perintah eksekutif yang ditandatangani tentang tarif, di Rose Garden di Gedung Putih di Washington, D.C., AS, 2 April 2025. Foto/REUTERS--

Radarlambar.bacakoran.co – Kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia diperkirakan akan memberikan dampak besar terhadap sektor usaha yang berorientasi ekspor di Indonesia.

Shinta Widjaja Kamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), mengungkapkan bahwa kebijakan ini akan menurunkan daya saing Indonesia, terutama untuk sektor industri berbasis ekspor yang sangat bergantung pada pasar AS.

Beberapa sektor yang akan terdampak signifikan antara lain tekstil, alas kaki, furnitur, elektronik, batubara, olahan nikel, dan produk agribisnis. Shinta menekankan bahwa kenaikan tarif ini akan meningkatkan struktur biaya produksi, yang pada akhirnya memengaruhi daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global, khususnya di pasar AS.

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menambahkan bahwa sektor elektronik, otomotif, dan pakaian jadi akan mengalami dampak yang cukup besar akibat kebijakan tarif ini. Bhima memperkirakan kebijakan tarif resiprokal ini dapat memicu resesi ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2025.

Dengan tarif 32%, sektor otomotif Indonesia yang pada 2023 mencatatkan ekspor ke AS senilai US$ 280,4 juta (setara Rp 4,64 triliun) akan menghadapi tantangan besar. Selain itu, komoditas elektronik dan pakaian jadi juga akan terimbas, karena AS merupakan pasar utama bagi produk-produk tersebut. Ekspor pakaian dan aksesorinya, yang menyumbang surplus perdagangan terbesar kedua setelah mesin dan perlengkapan elektrik, diprediksi akan berkurang tajam.

Bhima juga mengingatkan bahwa peraturan perdagangan, seperti Permendag 8/2024, perlu segera direvisi untuk mengurangi hambatan ekspor. Sebagai solusinya, Indonesia perlu mempersiapkan diri untuk bersaing dalam relokasi pabrik dan tidak hanya bergantung pada tarif resiprokal yang lebih rendah dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam dan Kamboja.

Kebijakan ini juga menekankan pentingnya regulasi yang konsisten, efisiensi dalam perizinan, serta kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia untuk mendukung daya saing industri nasional. Jika pemerintah Indonesia tidak segera mengambil langkah antisipatif, risiko resesi ekonomi yang serupa dengan negara-negara lain bisa terjadi akibat perang dagang yang semakin memanas.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan