Revisi Aturan TKDN Jadi Harapan Baru Bagi Industri Manufaktur Nasional

Istimewa. --
Radarlambar.bacakoran.co – Pemerintah sedang meninjau ulang regulasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagai bagian langkah strategis dalam meningkatkan daya saing industri manufaktur dalam negeri. Instruksi ini datang langsung dari Presiden Prabowo Subianto yang menilai bahwa kebijakan TKDN selama ini justru sering menjadi penghambat, bukan pendorong, bagi pertumbuhan industri nasional.
Dalam forum Sarasehan Ekonomi yang digelar di Menara Mandiri Jakarta, Presiden menyoroti pentingnya pendekatan realistis dan fleksibel dalam penerapan TKDN. Ia menilai bahwa regulasi yang terlalu kaku dan memaksa justru berpotensi melemahkan sektor industri, khususnya manufaktur, yang selama ini bergantung pada bahan baku impor untuk menjaga efisiensi dan kesinambungan produksi.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi pelaku industri adalah kesulitan menekan biaya produksi akibat keterbatasan ketersediaan bahan baku lokal. Banyak komponen vital seperti mesin kendaraan, baja khusus, dan aluminium masih harus diimpor karena belum tersedia dalam kapasitas dan kualitas yang memadai di dalam negeri. Sementara itu, regulasi yang membatasi impor bahan baku justru memperparah situasi dengan membuat pelaku industri kesulitan memenuhi komitmen produksi tepat waktu.
Proses birokrasi yang panjang dan rumit juga menjadi sorotan seperti pengurusan kuota impor, bea masuk hingga kebijakan perpajakan yang tidak seragam, membuat produk lokal semakin sulit bersaing dengan barang impor seperti harga dan ketepatan waktu pengiriman.
Sistem klasifikasi barang menggunakan Harmonized System Code pun masih menyimpan banyak kelemahan karena sering kali menyebabkan keterlambatan masuknya bahan baku ke Indonesia akibat proses verifikasi yang berbelit-belit.
Dari sisi fiskal, sistem kuota impor dinilai tidak memberikan kontribusi signifikan bagi pemasukan negara. Sebaliknya, justru menambah ketidakpastian di sektor perdagangan dan menghambat efisiensi industri. Jika kebijakan kuota dihapus, pabrik-pabrik bisa lebih fokus pada peningkatan kualitas, efisiensi produksi, dan inovasi, tanpa terbebani urusan administratif yang tidak produktif.
Di tengah kondisi ini, lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah dalam mengatur kebijakan impor menjadi tantangan tersendiri. Tumpang tindih regulasi antar kementerian sering kali menciptakan kebingungan dan memperlambat pengambilan keputusan di lapangan. Akibatnya, industri dalam negeri tidak hanya menghadapi tekanan dari luar, tapi juga terbebani oleh inefisiensi internal.
Selain itu, struktur ekspor Indonesia yang masih didominasi oleh produk padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur menjadikan posisi Indonesia rentan dalam persaingan global. Produk-produk ini mudah tergantikan oleh negara lain seperti Vietnam atau Bangladesh yang menawarkan biaya produksi lebih rendah dan birokrasi yang lebih efisien.
Banyak investor asing mengeluhkan hambatan regulasi yang rumit termasuk aturan TKDN yang dianggap tidak sejalan dengan dinamika industri modern. Rencana pemerintah untuk merevisi regulasi ini menjadi angin segar bagi dunia usaha, terutama di tengah tantangan global seperti kebijakan tarif dari Amerika Serikat yang mempengaruhi banyak sektor ekspor.
Dengan perubahan yang lebih adaptif, industri manufaktur Indonesia memiliki peluang besar untuk bangkit dan kembali kompetitif, baik di pasar domestik maupun internasional. Revisi TKDN bukan hanya tentang menyesuaikan regulasi, tapi juga tentang membuka jalan bagi pertumbuhan industri yang lebih inklusif, efisien, dan berdaya saing tinggi. (*)