Topeng Kaliwungu: Jejak Budaya Pandhalungan dari Lumajang

Topeng Kaliwungu / Foto--Net.--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Tari Topeng Kaliwungu merupakan salah satu warisan seni tradisional yang berasal dari Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Kesenian ini memiliki ciri khas penggunaan topeng dalam setiap pertunjukannya. Keberadaan tari ini tidak terlepas dari pengaruh budaya Madura yang dibawa oleh para pendatang ke wilayah Lumajang sekitar tahun 1940.
Interaksi budaya tersebut kemudian berpadu dengan budaya lokal Jawa, melahirkan bentuk seni baru yang dikenal sebagai bagian dari kebudayaan Pandhalungan, yakni perpaduan etnis Jawa dan Madura. Tari ini termasuk dalam kategori tari tunggal yang ditarikan oleh seorang penari.
Gerakan tari ini mengadopsi gaya cakilan, yang dikenal dalam tradisi Mataraman. Gaya tersebut memperlihatkan gerakan yang tajam dan patah-patah, terutama pada bagian kepala dan tangan. Kekuatan gerak mencerminkan karakter keras khas Madura, sementara kelembutan dan keluwesan gerakan mencirikan budaya Jawa, menjadikan tarian ini memiliki daya tarik tersendiri.
Dalam berbagai kesempatan, Tari Topeng Kaliwungu biasa ditampilkan pada acara-acara adat seperti pesta pernikahan, sunatan, karnaval budaya, hingga penyambutan tamu kehormatan. Kisah yang diangkat dalam tarian ini mengisahkan perjalanan tokoh Arya Wiraraja, seorang bangsawan dari Sumenep pada masa Kerajaan Majapahit, saat mengunjungi wilayah Lumajang.
Terselip pesan moral yang kuat dalam tarian ini, yakni bahwa di balik kerasnya sifat seseorang, pasti tersimpan sisi kelembutan dalam dirinya. Sejak pertama kali muncul, kostum yang digunakan dalam pertunjukan Tari Topeng Kaliwungu telah mengalami berbagai perkembangan.
Pada awal kemunculannya sekitar tahun 1940, penari hanya mengenakan pakaian sederhana berupa rompi, celana pendek hitam, dan sehelai sampur sebagai pelengkap. Hingga pertengahan dekade 1940-an, kostum tersebut belum banyak mengalami perubahan karena keterbatasan inovasi.
Perubahan mulai terlihat pada tahun 1948, di mana busana mulai disesuaikan dengan karakter budaya Madura yang lebih ekspresif dan penuh warna. Pada tahun 1960, tampilan penari semakin kompleks dengan tambahan hiasan kepala berupa jamang, celana rapek berwarna gelap, gongseng di kaki, serta sapu tangan yang melambangkan senjata tokoh Prabu Baladewa.
Inovasi terus berlanjut pada tahun 2001, ketika para seniman mulai memodifikasi tampilan penari dengan aksesoris modern, seperti kalung panjang berbahan beludru, hiasan tangan, serta jamang yang semakin mencolok. Tahun 2014 ditandai dengan penambahan pelengkap seperti dekker di pergelangan tangan, celana bordir hitam, stagen di pinggang, dan kaos kaki sebagai hiasan kaki. Sapu tangan tetap digunakan sebagai simbol pengganti senjata.
Keunikan Tari Topeng Kaliwungu juga sempat menarik perhatian dunia internasional. Melalui undangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Swiss, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lumajang mengirimkan perwakilannya untuk tampil dalam sebuah festival seni.
Parmin Ras, seniman kontemporer asal Surabaya, turut mengajak seorang pegiat seni asal Lumajang untuk memperkenalkan Tari Topeng Kaliwungu kepada khalayak internasional, menjadikan tarian ini sebagai duta budaya Indonesia di pentas dunia. Sayangnya, keberadaan Tari Topeng Kaliwungu saat ini mulai meredup. Setelah wafatnya Mbah Senemo, salah satu tokoh penting yang selama ini menjaga keberlangsungan tarian ini—minat masyarakat terhadap kesenian tersebut semakin menurun.
Saat ini, tarian tersebut nyaris tidak lagi dipentaskan dan berada dalam kondisi yang dapat disebut “mati suri”. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Kesenian lokal seperti Tari Topeng Kaliwungu merupakan bagian dari identitas budaya yang tidak boleh dilupakan. Sudah menjadi tugas kita bersama, khususnya generasi muda, untuk ikut ambil bagian dalam pelestarian kesenian ini.(*)