Harga Batu Bara Mulai Merangkak Naik

Tambang Batubara.--Foto freepik---
Radarlambar.bacakoran.co — Harga batu bara global kembali menunjukkan tren penguatan. Pada Kamis, 4 Juni 2025, harga komoditas ini naik menjadi US$107,8 per ton, tumbuh 0,75 persen dibandingkan dengan perdagangan hari sebelumnya yang berada di angka US$107 per ton.
Kenaikan ini bukan tanpa alasan. Sejumlah kabar baik datang dari kawasan Asia, terutama dari China dan India, yang merupakan dua negara dengan industri baja terbesar di dunia. Dalam ajang Singapore Coking Coal Conference 2025, terungkap bahwa permintaan batu bara kokas dari kedua negara tersebut tengah mengalami lonjakan. Pertumbuhan pesat sektor baja di sana mendorong kebutuhan bahan baku meningkat signifikan.
India, misalnya, tengah mengembangkan fasilitas produksi baja secara agresif. Pembangunan tanur tiup baru dilakukan untuk mendukung produksi baja datar berkualitas tinggi. Hal ini menandai era baru konsumsi batu bara kokas di negara tersebut.
Secara global, peningkatan produksi baja juga berdampak pada kebutuhan batu bara kokas keras yang diperkirakan bisa mencapai tambahan lebih dari 100 juta metrik ton kapasitas setiap tahunnya hingga 2050. Sayangnya, lonjakan permintaan ini belum sepenuhnya bisa diimbangi oleh pasokan. Negara seperti Australia dan Amerika Serikat diprediksi akan mengalami perlambatan ekspor pada tahun ini akibat keterbatasan pasokan baru.
India sendiri mulai mencari alternatif sumber pasokan untuk mengimbangi kekurangan tersebut. Namun, Mongolia yang sempat menguji pasar ekspor ke India pada 2012, tampaknya tidak lagi melanjutkan ekspansi serupa. Rute pengiriman yang terlalu panjang dan biaya logistik yang tinggi menjadi penghambat utama sehingga negara tersebut tidak dimasukkan dalam daftar pemasok utama India.
Indonesia Masih Mengandalkan Batu Bara
Di tengah semangat transisi energi global, Indonesia masih menyimpan ruang untuk batu bara dalam strategi pembangkit listriknya. Dalam dokumen peta jalan energi nasional untuk periode 2025–2034, pemerintah menetapkan target penambahan kapasitas pembangkit hingga 60 gigawatt (GW). Meski mayoritas akan berasal dari sumber energi baru dan terbarukan seperti tenaga surya, hidro, dan panas bumi, sekitar 6 GW masih direncanakan berasal dari pembangkit berbasis batu bara.
Kebijakan ini menyiratkan bahwa meski ada larangan pembangunan pembangkit batu bara baru sejak 2022, sejumlah proyek yang telah direncanakan sebelumnya tetap dilanjutkan. Pengecualian juga diberikan bagi sektor-sektor strategis seperti industri pengolahan nikel, yang dianggap vital dalam mendukung hilirisasi sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi.
Meski demikian, tantangan besar membayangi ambisi Indonesia untuk mencapai net-zero emisi pada 2050. Saat ini, porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional baru mencapai sekitar 13 persen. Angka ini masih jauh dari target 23 persen pada tahun 2025. Berbagai hambatan seperti subsidi bahan bakar fosil yang masih tinggi, regulasi investasi yang belum mendukung, dan dominasi batu bara di sektor-sektor industri besar menjadi ganjalan utama.
Realisasi transisi energi di Indonesia tampaknya membutuhkan langkah reformasi yang lebih agresif, baik dari sisi kebijakan maupun investasi infrastruktur. Di sisi lain, tren harga batu bara yang kembali menguat menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap komoditas ini masih cukup tinggi, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di pasar global. (*/rinto)