PLTS 100 GW Jadi ‘Kuda Hitam’ Transisi Energi Indonesia 2045
Forum Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025, yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) di Jakarta--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO— Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas hingga 100 gigawatt (GW) dinilai dapat menjadi kuda hitam dalam mempercepat transisi energi Indonesia menuju target Indonesia Emas 2045. Gagasan ini mencuat dalam forum Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025, yang digelar oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) di Jakarta.
Anggota ICEF Sripeni Inten Cahyani menuturkan, Indonesia menghadapi tiga tantangan besar dalam mewujudkan transisi energi yang adil, berkelanjutan, dan inklusif. Tantangan pertama, katanya, adalah meningkatnya ketegangan geopolitik global dan melemahnya kerja sama antarnegara dalam isu energi dan iklim.
“Presiden ke-6 RI, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, pernah mengingatkan bahwa banyak pemimpin dunia kini lebih fokus pada kepentingan nasionalnya masing-masing. Padahal kita semua hidup di bumi yang sama dan harus bersama menjaga komitmen terhadap Paris Agreement,” ujar Sripeni, Kamis (6/11).
Tantangan kedua adalah subsidi energi yang belum tepat sasaran. Ia menilai, sebagian besar subsidi masih mengalir ke energi fosil, sedangkan energi terbarukan belum mendapat insentif memadai untuk menjadi kompetitif dan terjangkau.
Adapun tantangan ketiga, lanjut Sripeni, terletak pada rantai pasok industri energi bersih nasional yang belum kuat. Padahal, penguatan rantai pasok ini dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru yang mendukung visi Indonesia keluar dari middle-income trap menjelang 2045.
ICEF dan IESR merekomendasikan tiga strategi utama yang dapat dijalankan dalam dua tahun ke depan untuk mempercepat akselerasi energi bersih.
Pertama, pelaksanaan program PLTS Desa 100 GW, yang dinilai sebagai game changer atau “kuda hitam” dalam memperluas akses energi bersih nasional. Sripeni menekankan, keberhasilan program ini bergantung pada dasar hukum yang kuat, lembaga pelaksana yang jelas, serta mekanisme pelaksanaan yang transparan, termasuk peran Koperasi Merah Putih sebagai penggerak masyarakat lokal.
Kedua, penambahan kuota PLTS atap. Meningkatnya minat publik terhadap PLTS atap perlu diimbangi dengan evaluasi sistem kelistrikan PLN, agar keandalan jaringan tetap terjaga. Diperlukan pula mekanisme pembagian risiko (risk sharing) antara pemerintah, PLN, dan pelaku usaha.
Ketiga, mendorong proyek percontohan mekanisme penukaran energi (swap) atau Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) sebagaimana diatur dalam PP No. 40/2025 dan Permen ESDM No. 11/2021. Skema ini penting bagi industri yang ingin meningkatkan daya saing melalui penggunaan energi bersih.
Dalam jangka menengah (empat tahun ke depan), ICEF dan IESR menggarisbawahi enam faktor pendukung utama yang perlu diperkuat: Edukasi dan partisipasi publik agar masyarakat memahami dan menerima transisi energi.
Regulasi yang bankable untuk menarik investasi energi terbarukan.
Penyelarasan instrumen keuangan dan pasar karbon agar kebijakan fiskal sejalan dengan kebijakan teknis.
Penguatan sistem kelistrikan dan kontrak pembelian listrik (PPA) untuk menjaga keandalan energi.
Pengembangan kompetensi hijau (green skills) untuk menyiapkan SDM menghadapi industri energi baru.