Bos Danantara Minta Istri Pejabat BUMN Tak Cawe-cawe Urusan Kantor

Kantor pusat Danantara--

Radarlambar.bacakoran.co - Gelombang pembaruan tata kelola di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kini memasuki babak baru: ranah etik internal yang selama ini dianggap wilayah abu-abu. Salah satu sorotan tajam datang dari Chief Operating Officer Danantara Indonesia, Dony Oskaria, yang mengingatkan keras agar istri-istri pejabat BUMN tidak terlibat dalam pengambilan keputusan atau urusan internal kantor — sebuah praktik yang dinilainya tidak profesional dan berpotensi menciptakan konflik kepentingan.

Dalam sebuah forum terbuka yang digelar bersama alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Dony menyuarakan keresahan yang jarang terdengar di ruang publik: keberadaan anggota keluarga, khususnya istri direksi, dalam lingkup kerja operasional BUMN. Dari menentukan dekorasi kantor, terlibat dalam penyusunan agenda kegiatan perusahaan, hingga memengaruhi suasana rapat — hal-hal seperti ini, menurutnya, harus dihentikan.

Dalam konteks korporasi profesional, keberadaan pasangan pejabat dalam urusan institusi bisa mengaburkan batas antara kepentingan pribadi dan publik. BUMN sebagai badan usaha milik rakyat, tidak seharusnya menjadi ruang ekspresi kuasa keluarga pejabat.

Situasi ini menggambarkan sisa-sisa budaya feodal di tubuh perusahaan negara, di mana jabatan kadang dianggap sebagai hak istimewa, bukan tanggung jawab publik. Dalam praktik sehat tata kelola, hanya profesional yang memiliki mandat sah yang seharusnya berperan dalam pengambilan keputusan dan operasional kantor.

Dony tidak berhenti pada persoalan keluarga. Ia juga mengkritik gaya hidup direksi BUMN yang kerap memanfaatkan waktu kerja untuk bermain golf, menunjukkan protokol berlebihan, dan menggunakan ajudan hanya demi gaya, bukan fungsi.

Danantara kini sedang berupaya membangun budaya kerja baru yang profesional, efisien, dan menjunjung tinggi nilai meritokrasi. Salah satu fondasinya adalah memisahkan urusan pribadi dari fungsi negara. Prinsip ini sejalan dengan agenda reformasi BUMN yang lebih transparan dan akuntabel.

Pemisahan kehidupan pribadi dan jabatan publik bukan hanya soal estetika birokrasi. Ia menyentuh aspek fundamental dari kepercayaan publik terhadap institusi negara. Jika istri pejabat bisa ikut menentukan kebijakan estetika kantor, apa yang menjamin mereka tidak juga memengaruhi keputusan strategis lainnya?

Dalam lanskap global, praktik corporate governance telah menempatkan integritas dan independensi sebagai syarat mutlak. Indonesia tidak bisa terus terjebak dalam pola manajemen yang longgar atas alasan “kebiasaan”.

Sorotan ini bukan tanpa alasan. Sejumlah kasus di masa lalu menunjukkan bagaimana keterlibatan keluarga pejabat dalam urusan perusahaan kerap membuka celah bagi korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau setidaknya menimbulkan konflik kepentingan yang sulit ditelusuri.

Kini, dengan adanya Danantara sebagai pengelola strategis aset BUMN, langkah pembenahan tidak hanya menyentuh sisi bisnis, melainkan juga nilai-nilai dasar etika jabatan publik. Jika reformasi ini dijalankan secara konsisten, masyarakat dapat berharap lahirnya BUMN yang benar-benar dikelola secara profesional, bukan sekadar menjadi panggung kekuasaan privat dengan wajah publik. (*/edi)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan