Kecaman Global terhadap Israel Menguat, Tekanan Internasional Kian Meningkat

Kondisi terbaru PM Israel Benjamin Netanyahu usai keracunan makanan. Foto REUTERS --
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Dukungan terhadap tindakan militer Israel di Gaza semakin terkikis di mata dunia. Tekanan internasional, baik secara diplomatik, hukum, maupun ekonomi, terus meningkat seiring memburuknya krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Pada 21 Juli 2025, sebanyak 25 negara dari berbagai belahan dunia, termasuk Inggris, Jepang, Australia, dan negara-negara anggota Uni Eropa, menyuarakan kecaman keras terhadap serangan brutal Israel di Jalur Gaza. Negara-negara tersebut menyerukan penghentian segera segala bentuk permusuhan dan memperingatkan bahwa penderitaan warga sipil telah mencapai titik yang tak bisa lagi ditoleransi.
Sorotan utama terarah pada buruknya sistem distribusi bantuan yang dikelola Israel. Koalisi internasional menilai bahwa sistem tersebut memperburuk ketidakstabilan dan mempermalukan penduduk Gaza dengan memperlambat atau bahkan menghalangi akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan dan air bersih. Tercatat lebih dari 800 warga Palestina kehilangan nyawa hanya karena mencoba memperoleh bantuan sejak akhir Mei.
Negara-negara ini juga menolak rencana Israel yang hendak merelokasi paksa penduduk Gaza ke kawasan yang disebut sebagai "kota kemanusiaan". Langkah tersebut dipandang sebagai pelanggaran hukum internasional karena mengubah komposisi demografis wilayah pendudukan secara permanen.
Selain itu, tekanan juga datang dari berbagai forum internasional. Koalisi negara berkembang seperti Kolombia, Malaysia, dan Afrika Selatan yang tergabung dalam Kelompok Den Haag, menyerukan pendekatan hukum dan diplomatik yang lebih keras untuk membatasi agresi Israel. Mereka menggarisbawahi pentingnya prinsip penentuan nasib sendiri serta kewajiban untuk meninjau ulang semua bentuk hubungan dengan Israel.
Sikap tegas juga disuarakan di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Beberapa negara mengangkat isu dugaan genosida yang dilakukan Israel dan mendorong tindakan global yang lebih konkret. Konferensi yang diketuai bersama oleh Afrika Selatan dan Kolombia membahas kemungkinan penangguhan kerja sama ekonomi serta pemberlakuan sanksi yang lebih luas terhadap Israel.
Beberapa negara sudah mulai mengambil langkah nyata. Slovenia, misalnya, menjadi anggota Uni Eropa pertama yang secara resmi melarang dua pejabat tinggi Israel, Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, memasuki wilayahnya. Keduanya dianggap bertanggung jawab atas hasutan kekerasan dan pelanggaran HAM berat terhadap rakyat Palestina.
Tindakan serupa sebelumnya juga dilakukan oleh Australia, Kanada, Inggris, Selandia Baru, dan Norwegia. Negara-negara ini tidak hanya melarang kedatangan dua pejabat garis keras Israel, tetapi juga membekukan aset mereka.
Langkah hukum juga terus bergerak. Sejak akhir 2023, Afrika Selatan menggugat Israel atas tuduhan genosida di Mahkamah Internasional. Gugatan tersebut didukung oleh sejumlah negara lain, termasuk Kolombia, Chili, Spanyol, Irlandia, dan Turki. Pada awal 2024, Mahkamah Internasional mengeluarkan putusan sementara yang menyatakan adanya dugaan wajar atas tindakan genosida dan memerintahkan Israel membuka akses bantuan darurat ke Gaza.
Sementara itu, dari dalam negeri Israel, muncul tanda-tanda ketidakpuasan terhadap perang. Meskipun masih terbatas, protes publik mulai bermunculan. Kelompok aktivis lintas etnis seperti Standing Together mulai aktif turun ke jalan. Jumlah tentara cadangan yang menolak bertugas juga meningkat signifikan, dengan laporan menyebutkan bahwa lebih dari 100.000 personel menyatakan keberatan terhadap misi militer di Gaza.
Namun, pemerintahan ekstrem kanan pimpinan Benjamin Netanyahu tampaknya belum terpengaruh oleh tekanan global maupun protes domestik. Rencana terbaru mereka untuk mengurung seluruh warga Gaza dalam zona terbatas kembali memicu kritik keras, karena dianggap melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dan menyerupai praktik kamp konsentrasi.
Meskipun Amerika Serikat belakangan ini sempat menunjukkan ketidakpuasan terhadap beberapa tindakan Israel, terutama setelah pengeboman terhadap gereja Katolik di Gaza, dukungan Washington terhadap Tel Aviv tetap kokoh. Presiden Donald Trump, meski dilaporkan tidak sepenuhnya menyetujui semua langkah Netanyahu, masih menjadi sandaran diplomatik utama bagi Israel di tengah badai kecaman dunia.
Situasi ini menunjukkan bahwa tekanan internasional terhadap Israel semakin meluas dan terkoordinasi. Namun, keberhasilan upaya ini dalam menghentikan kekerasan di Gaza masih sangat bergantung pada langkah-langkah konkret yang diambil negara-negara besar, terutama dalam memutus dukungan ekonomi dan politik yang selama ini menopang kebijakan militer Israel. (*)