Columbia University Skors dan Cabut Gelar Mahasiswa Pro-Palestina, Aksi Solidaritas Gaza Terus Berkobar

Solidaritas Bela Palestina Warnai Kawasan Kedutaan Besar AS di Jakarta. Foto/net--
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Gelombang protes mahasiswa di Amerika Serikat atas perang di Gaza kembali memanas, kali ini dengan tindakan keras dari salah satu universitas paling bergengsi di dunia. Columbia University, kampus Ivy League ternama di New York, secara resmi menjatuhkan sanksi berat terhadap hampir 80 mahasiswanya karena keterlibatan dalam aksi demonstrasi pro-Palestina.
Sanksi tersebut mencakup skorsing selama beberapa tahun, pengusiran, hingga pencabutan gelar. Langkah tegas ini diambil setelah aksi pendudukan di Perpustakaan Butler dan kamp protes selama akhir pekan reuni alumni musim semi 2024.
“Gangguan terhadap kegiatan akademik merupakan pelanggaran kebijakan universitas dan akan menimbulkan konsekuensi,” demikian pernyataan resmi dari pihak kampus, Selasa (22/7), dikutip dari Al Jazeera.
Dituding Tak Adil, Mahasiswa Tetap Konsisten Dukung Palestina
Kelompok aktivis mahasiswa Columbia University Apartheid Divest (CUAD) menyebut tindakan kampus sangat berlebihan dan tidak sebanding dengan jenis protes yang dilakukan. Mereka menyatakan bahwa aksi duduk damai dan perkemahan mahasiswa seharusnya dipandang sebagai bentuk kebebasan berekspresi, bukan pelanggaran berat.
“Sanksi ini jauh melampaui preseden tindakan terhadap aksi demonstrasi lain yang tidak berkaitan dengan Palestina,” tulis CUAD dalam pernyataan resminya.
Mereka juga menegaskan tidak akan mundur dari perjuangan mendukung kemerdekaan Palestina, meski menghadapi tekanan keras dari otoritas kampus.
Aksi Columbia Jadi Pemicu Gelombang Global
Aksi mahasiswa Columbia sejak 2024 memang telah menyulut solidaritas mahasiswa di seluruh dunia. Protes pro-Palestina merebak di berbagai kampus besar, dari Harvard hingga Oxford, dengan tuntutan utama: agar universitas mencabut investasi dari perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan militer Israel.
Puncak ketegangan terjadi ketika Columbia mengizinkan ratusan polisi New York masuk ke area kampus untuk membubarkan kamp mahasiswa, yang berujung pada puluhan penangkapan.
Meskipun tekanan meningkat, para mahasiswa tetap melanjutkan aksi damai mereka, termasuk menduduki ruang belajar saat musim ujian akhir berlangsung pada Mei 2025. Mereka menyatakan sikap solidaritas terhadap warga sipil di Gaza dan menuntut divestasi penuh dari industri yang berkontribusi terhadap konflik di Palestina.
Hubungan Columbia dan Pemerintah AS Memanas
Tindakan Columbia University terhadap mahasiswanya kini mendapat sorotan tajam, terlebih karena universitas itu tengah bernegosiasi untuk memulihkan dana federal sebesar USD 400 juta yang dipotong oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. Pemotongan tersebut disebut sebagai sanksi atas “kegagalan universitas dalam melindungi mahasiswa Yahudi dari intimidasi dan pelecehan”.
Pejabat kampus, termasuk Presiden Sementara Claire Shipman, menghadapi kecaman publik dan bahkan dicemooh oleh para mahasiswa saat upacara kelulusan Mei lalu atas perannya dalam mendukung tindakan keras terhadap protes.
Sementara itu, Universitas Harvard yang juga mengalami pemotongan dana serupa, memilih jalur hukum dan menggugat pemerintah federal karena dianggap mencampuri kebijakan internal dan kebebasan akademik.
Protes Palestina di Kampus: Antara Kebebasan Bersuara dan Reaksi Keras Institusi
Kasus di Columbia menyoroti dilema besar yang kini dihadapi kampus-kampus AS: bagaimana menyeimbangkan kebebasan berekspresi mahasiswa dengan tekanan dari pemerintah dan kelompok kepentingan. Meski tindakan universitas dianggap sah secara administratif, publik kini menyoroti aspek moral dan keberpihakan dalam kebijakan tersebut.
Bagi para mahasiswa pendukung Palestina, perjuangan belum usai. Sanksi justru memperkuat tekad mereka untuk terus bersuara, menolak kekerasan, dan membela kemanusiaan.
“Kami tidak akan gentar,” tegas CUAD. “Kami akan terus berdiri untuk pembebasan Palestina.” (*)