Amnesti untuk Hasto Disetujui DPR, KPK Cermati Proses Hukum Berjalan

Gedung KPK. -Foto KPK-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Dinamika hukum dan politik nasional kembali menghangat menyusul disetujuinya permintaan amnesti bagi Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Persetujuan ini menjadi bagian dari tindak lanjut atas surat resmi Presiden RI yang diajukan pada akhir Juli 2025, berisi permohonan amnesti untuk lebih dari seribu narapidana, termasuk di dalamnya tokoh politik dari partai banteng tersebut.
DPR RI, melalui mekanisme rapat konsultasi bersama pemerintah, menyatakan sepakat terhadap usulan tersebut. Pertemuan itu dihadiri oleh sejumlah tokoh kunci, termasuk Menteri Hukum dan HAM serta jajaran Pimpinan Komisi III. Dalam rapat tersebut, bukan hanya Hasto yang menjadi sorotan, tetapi juga mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, yang masuk dalam daftar penerima abolisi.
Diketahui, Presiden telah mengajukan surat bernomor R 42/Pers/VII/2025 yang merinci nama-nama pihak yang dimohonkan mendapat pengampunan. Dari daftar tersebut, sebanyak 1.116 orang disebut telah memenuhi kriteria penerima amnesti, baik dari aspek hukum maupun pertimbangan kemanusiaan dan politik.
Langkah ini memunculkan beragam tanggapan dari berbagai pihak, salah satunya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hingga kini masih menjalankan proses hukum terhadap beberapa individu yang turut tercantum dalam daftar permohonan amnesti. Meski belum menyatakan sikap secara tegas, lembaga antirasuah itu memilih untuk mencermati lebih lanjut perkembangan kebijakan tersebut, terutama dalam kaitannya dengan proses hukum yang belum selesai.
Amnesti dan abolisi merupakan instrumen hukum yang memungkinkan negara memberikan pengampunan kepada seseorang atas perbuatan pidana tertentu. Namun, keputusan politik ini sering kali menimbulkan pro dan kontra, apalagi ketika yang terlibat adalah tokoh-tokoh yang berada di pusaran kasus besar.
Dalam konteks Hasto Kristiyanto, pengajuan amnesti menjadi bagian dari langkah politik yang sarat makna. Selain menunjukkan kuatnya pengaruh politik partai pengusungnya, keputusan ini juga memperlihatkan adanya kehendak negara untuk menyelesaikan ketegangan politik melalui jalur hukum yang konstitusional. Namun, bagi sebagian kalangan, langkah ini menimbulkan tanda tanya besar terkait komitmen terhadap pemberantasan korupsi dan integritas penegakan hukum.
Sementara itu, pemberian abolisi terhadap Tom Lembong turut menambah daftar panjang tokoh-tokoh elite yang mendapat keistimewaan berupa penghentian tuntutan hukum oleh negara. Dalam berbagai diskursus publik, hal ini menegaskan bahwa instrumen hukum seperti amnesti dan abolisi tetap menjadi alat politik yang fleksibel, tergantung pada situasi, konteks, dan kekuatan lobi di baliknya.
Dari sisi teknis, proses pemberian amnesti ini masih akan berlanjut ke tahap administrasi berikutnya, setelah memperoleh persetujuan DPR. Pemerintah akan memfinalisasi proses hukum melalui Keputusan Presiden, sebelum akhirnya resmi berlaku dan berdampak terhadap status hukum para penerima.
Masyarakat kini menanti langkah selanjutnya dari aparat penegak hukum, khususnya KPK, apakah akan tetap melanjutkan proses hukum yang ada atau menyesuaikan diri dengan keputusan politik yang telah diambil. Di tengah suasana yang kian panas menjelang kontestasi politik mendatang, kebijakan ini tentu akan membawa konsekuensi besar, baik secara hukum maupun politik nasional. (*/rinto)