Sidang Lanjutan Kasus Aulia Risma: Terungkap Budaya Perundungan dan Pemerasan di PPDS Anestesi Undip

Sidang Lanjutan Kasus Aulia Risma: Terungkap Budaya Perundungan dan Pemerasan di PPDS Anestesi Undip. Foto/net--

RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Pengadilan Negeri Semarang kembali menggelar sidang kasus dugaan perundungan dan pemerasan terhadap almarhumah Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), Rabu, 6 Agustus 2025. Agenda persidangan kali ini memeriksa terdakwa Zara Yupita Azra, salah satu senior Aulia yang juga menjabat sebagai kakak pembimbing semasa almarhumah menjalani pendidikan di RSUP Dr. Kariadi, Semarang.

Dalam persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) membeberkan bukti percakapan di grup WhatsApp "1 2 Anestesi" yang memuat ujaran bernada ancaman dan makian dari terdakwa kepada juniornya. Konten pesan menunjukkan pola komunikasi yang keras dan intimidatif, menggambarkan hubungan hierarkis yang kaku di lingkungan PPDS Anestesi Undip.

Zara mengakui bahwa ia marah karena sering mendapat hukuman dari senior akibat kesalahan yang dilakukan Aulia. Ia membenarkan adanya sistem hukuman berjenjang yang membuat tanggung jawab kesalahan mahasiswa semester satu dibebankan kepada senior di atasnya. Selain itu, terungkap pula bahwa mahasiswa angkatan Aulia kerap dikumpulkan di basecamp untuk diberi evaluasi oleh para senior, sering kali disertai dengan ucapan kasar.

Persidangan juga menghadirkan Kalika Firdaus, salah satu teman seangkatan Aulia. Ia mengonfirmasi adanya budaya perundungan melalui “pasal anestesi”, yang mempertegas dominasi senior dan mengharuskan junior bersikap patuh mutlak. Kalika juga mengungkap keberadaan buku catatan kesalahan, meskipun ia mengaku belum pernah melihat langsung isinya.

Fakta mencengangkan lainnya adalah soal iuran bulanan. Mahasiswa PPDS semester awal disebut mengumpulkan uang sebesar Rp10 hingga Rp20 juta setiap bulan. Dana tersebut digunakan untuk kebutuhan rumah tangga mahasiswa PPDS, termasuk penyediaan mobil, makanan, pengerjaan tugas senior, hingga keperluan rekreasi.

Kalika mengaku bahwa sebagian tugas akademik senior sering kali dikerjakan oleh junior. Karena padatnya aktivitas sebagai dokter residen, ia bahkan menyewa jasa joki menggunakan dana kas angkatan. Tugas-tugas tersebut sering kali dikirim tanpa mengetahui siapa pemiliknya, dan almarhumah Aulia Risma, yang menjabat sebagai bendahara angkatan, bertanggung jawab atas pengelolaan transaksi pembayarannya.

Sidang juga mengungkap adanya tekanan sosial yang membuat junior enggan berinteraksi dengan senior di luar ruang operasi. Kalika, misalnya, menyatakan bahwa ia hanya berani berbicara dengan senior saat berada di kamar operasi karena takut akan konsekuensi sosial yang muncul jika melanggar aturan tidak tertulis.

Kasus ini melibatkan tiga terdakwa: Taufik Eko Nugroho, eks Ketua Prodi PPDS Anestesi FK Undip; Sri Maryani, staf administrasi program; dan Zara Yupita Azra, dokter residen sekaligus senior dari almarhumah. Persidangan yang berlangsung sejak 26 Mei 2025 ini perlahan mengungkap potret buram budaya kekerasan dan relasi kuasa yang mengakar dalam lingkungan pendidikan kedokteran.

Kematian Aulia Risma telah memantik perhatian publik, tidak hanya karena dugaan tekanan psikologis yang dialaminya, tetapi juga karena mengungkap pola sistemik yang merugikan mahasiswa muda dalam sistem pendidikan spesialis di Indonesia. Proses hukum masih berjalan dan publik menantikan keadilan ditegakkan sepenuhnya. (*)


Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan