Binarundak, Tradisi Reuni dan Silaturahmi di Kotamobagu

Binarundak merupakan tradisi yang sudah dilakukan selama puluhan tahun oleh Suku Mongondow yang tinggal di Kotamubagu Sulawesi Utara. -Foto ; Net.-
RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO - Lebaran tidak hanya menjadi momen untuk kembali berkumpul bersama keluarga, tetapi juga menjadi kesempatan emas bagi para perantau untuk bertemu kawan lama. Namun, agenda pertemuan dengan sahabat sering kali sulit terwujud karena kesibukan masing-masing. Di Kotamobagu, Sulawesi Utara, masyarakat memiliki cara tersendiri untuk mengakomodasi pertemuan itu. Sebuah tradisi turun-temurun yang dikenal dengan Binarundak menjadi wadah kebersamaan yang dinantikan setiap tahun.
Binarundak telah menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat Mongondow. Tradisi ini biasanya digelar antara hari ketiga hingga satu minggu setelah Idulfitri, ketika suasana Lebaran masih terasa hangat. Pada hari pelaksanaannya, ratusan orang dari berbagai kalangan berkumpul. Tidak hanya warga setempat, tetapi juga para pemudik yang kembali dari perantauan.
Tradisi ini diyakini berakar dari kebiasaan masyarakat Minahasa, khususnya Tondano, yang mengadakan pertemuan serupa pada hari ketujuh Lebaran. Seiring waktu, masyarakat Mongondow mengembangkan tradisi ini dengan sentuhan khas mereka hingga menjadi agenda tahunan yang melekat dalam kehidupan sosial.
Esensi Binarundak terletak pada kegiatan memasak bersama makanan khas daerah, yakni Nasi Jaha. Hidangan ini terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan santan, jahe, serai, daun pandan, bawang merah, serta daun jeruk. Kombinasi rempah tersebut menghadirkan aroma harum sekaligus cita rasa gurih dengan sedikit sensasi pedas hangat dari jahe. Bagi masyarakat Sulawesi Utara, Nasi Jaha bukan hanya makanan, melainkan simbol kebersamaan yang tercipta dari proses memasak hingga menikmatinya bersama-sama.
Proses pembuatan Nasi Jaha sendiri memerlukan kesabaran dan ketelitian. Beras ketan harus direndam semalaman agar teksturnya lebih lembut. Setelah dicampur bumbu, beras dikukus hingga setengah matang, kemudian dimasukkan ke dalam batang bambu yang telah dilapisi daun pisang. Selanjutnya, bambu dipanggang di atas bara api hingga nasi matang sempurna. Sentuhan bambu yang terbakar memberikan aroma khas sekaligus membedakan Nasi Jaha dengan hidangan serupa dari daerah lain. Setelah matang, nasi dipotong sepanjang delapan hingga sepuluh sentimeter sebelum disajikan.
Dalam suasana Binarundak, Nasi Jaha tidak disajikan sendirian. Biasanya, ia ditemani lauk khas Sulawesi Utara seperti ikan cakalang fufu yang diasap, ayam rica-rica dengan bumbu pedas, atau gulai daging sapi yang kaya rempah. Hidangan tersebut disantap bersama-sama sambil bercengkerama, mendengarkan musik, dan berbagi cerita. Suasana ini menjadikan Binarundak lebih dari sekadar pesta kuliner, melainkan juga perayaan kebersamaan dan kerinduan yang terobati.
Tidak berlebihan jika Binarundak disebut sebagai ruang sosial yang memperkuat ikatan persaudaraan. Bagi pemudik, acara ini sering kali menjadi ajang reuni dengan kawan lama. Sedangkan bagi warga setempat, Binarundak adalah kesempatan untuk mempererat tali silaturahmi antar-keluarga dan antargenerasi. Nilai gotong royong, solidaritas, dan kebersamaan sangat terasa dalam setiap prosesinya, mulai dari menyiapkan bahan makanan hingga menyantapnya bersama.
Keberlanjutan tradisi Binarundak menegaskan pentingnya menjaga warisan budaya di tengah arus modernisasi. Tradisi ini tidak hanya memperkuat nilai silaturahmi, tetapi juga membuka peluang untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya. Dengan kemasan yang tepat, Binarundak dapat memperkenalkan kekayaan kuliner sekaligus memperkuat sektor pariwisata Sulawesi Utara.
Lebih jauh, keberadaan tradisi ini memberi dampak sosial yang besar. Dalam masyarakat modern yang cenderung individualis, Binarundak mengingatkan kembali akan pentingnya kebersamaan, saling menghargai, dan menjaga hubungan sosial. Ia bukan sekadar ritual tahunan, melainkan warisan nilai yang menumbuhkan rasa persaudaraan, menyatukan warga, dan meneguhkan identitas budaya Mongondow.
Dengan demikian, Binarundak tidak hanya menjadi ajang reuni para pemudik, tetapi juga simbol kebersamaan yang melampaui batas generasi. Tradisi ini membuktikan bahwa kebudayaan lokal masih mampu bertahan dan memberi warna dalam kehidupan masyarakat, sekaligus menjadi modal penting untuk memperkuat pariwisata daerah di masa depan.(*/yayan)