Radarlambar.bacakoran.co – Korea Selatan, yang dikenal sebagai negara dengan perkembangan ekonomi dan modernisasi pesat, kini menghadapi tantangan serius berupa krisis demografi. Tingkat kelahiran yang terus menurun di negara tersebut menempatkannya dalam posisi yang mengkhawatirkan. Jika situasi ini tidak segera diatasi, populasi Korea Selatan dapat berkurang drastis hingga sepertiga dari jumlah saat ini menjelang akhir abad ke-21.
Sejarah Penurunan Angka Kelahiran
Penurunan angka kelahiran di Korea Selatan bukanlah fenomena baru. Dimulai pada tahun 1960-an, pemerintah menerapkan program keluarga berencana untuk mengendalikan ledakan populasi yang dianggap dapat menghambat pembangunan ekonomi. Kala itu, rata-rata setiap perempuan memiliki enam anak. Pada 1983, angka kelahiran turun ke tingkat penggantian (2,1 anak per wanita), dan sejak saat itu terus menurun hingga mencapai level kritis.
Saat ini, proyeksi menunjukkan bahwa populasi Korea Selatan dapat menyusut dari 52 juta menjadi hanya 17 juta pada akhir abad ini. Dalam skenario terburuk, jumlah penduduk bahkan diperkirakan tinggal 14 juta, yang dapat mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi.
Penyebab Utama
Beberapa faktor utama yang memicu krisis ini adalah tekanan sosial dan ekonomi, serta perubahan nilai-nilai budaya. Banyak perempuan di Korea Selatan memilih untuk menunda pernikahan atau tidak menikah sama sekali karena ingin fokus pada karier. Survei pemerintah menunjukkan bahwa beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak menjadi alasan utama perempuan enggan membangun keluarga.
Kondisi ini diperparah oleh kesenjangan gender yang masih besar. Sebagian besar pekerjaan rumah tangga tetap menjadi tanggung jawab perempuan, meskipun banyak dari mereka juga bekerja di luar rumah. Ketimpangan ini memicu ketidakpuasan terhadap peran tradisional dalam pernikahan.
Upaya Pemerintah
Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah Korea Selatan telah meluncurkan berbagai program, mulai dari insentif finansial, subsidi pengasuhan anak, hingga kebijakan yang menawarkan pengecualian wajib militer bagi pria dengan tiga anak atau lebih. Tetapi sampai sekarang upaya itu belum menunjukkan hasil signifikan.
Kesetaraan Gender Masih Jadi Tantangan
Kesenjangan gender di Korea Selatan dinilai sebagai salah satu hambatan terbesar dalam mengatasi masalah ini. Banyak perempuan yang menginginkan hubungan yang setara dalam pernikahan, tetapi sentimen anti-feminis justru semakin meningkat. Sikap ini menciptakan konflik sosial yang mempersulit solusi.
Dengan tantangan demografi yang semakin nyata, Korea Selatan harus segera menemukan cara untuk mengatasi masalah ini, baik melalui kebijakan yang mendukung keluarga maupun perubahan dalam budaya sosial yang lebih inklusif terhadap kesetaraan gender.(*)