Radarlambar.bacakoran.co -Ketegangan di Timur Tengah melonjak tajam setelah Amerika Serikat meluncurkan serangan udara yang menargetkan tiga fasilitas nuklir utama milik Iran: Isfahan, Natanz, dan Fordow, pada Sabtu (21/6/2025) waktu setempat. Serangan ini memicu reaksi keras dari Teheran dan menandai babak baru dalam konflik yang semakin membesar antara Iran dan sekutu-sekutu Barat, terutama Israel.
Laporan dari media dalam negeri Iran mengonfirmasi bahwa sistem pertahanan udara negara tersebut sempat diaktifkan untuk menghadang serangan yang datang. Meski demikian, beberapa ledakan tetap terdengar di sekitar lokasi yang diserang, termasuk Fordow yang dikenal sebagai fasilitas nuklir bawah tanah dengan perlindungan ekstrem. Isfahan dan Natanz, dua situs penting lainnya, juga dilaporkan mengalami penyusupan dan serangan dari pesawat-pesawat militer asing.
Serangan udara ini diyakini menggunakan pesawat pengebom B-2 milik militer AS yang dilengkapi bom penghancur bunker, jenis amunisi yang mampu menembus lapisan pertahanan fasilitas bawah tanah. Serangan terhadap Fordow dinilai sangat signifikan karena lokasi ini menyimpan sentrifugal canggih untuk pengayaan uranium berkadar tinggi—komponen kunci dalam potensi produksi senjata nuklir.
Pihak militer utama Iran, Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), merespons dengan pernyataan keras bahwa serangan tersebut menandai dimulainya perang secara terbuka. Pernyataan itu mempertegas bahwa eskalasi konflik kini bukan lagi sebatas ketegangan regional, melainkan telah meluas menjadi konflik militer yang berpotensi merusak stabilitas kawasan.
Selain kecaman dari Iran, Organisasi Energi Atom Iran turut menyebut tindakan Amerika sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Mereka menyatakan bahwa fasilitas nuklir Iran diserang secara biadab di waktu dini hari, menggarisbawahi bahwa tindakan tersebut mencederai prinsip-prinsip hukum global dan kedaulatan nasional.
Di sisi lain, Israel secara terbuka memberikan dukungan penuh terhadap langkah AS. Perdana Menteri Israel menyatakan bahwa serangan tersebut merupakan momen bersejarah yang akan mengubah arah perpolitikan Timur Tengah. Ia menilai bahwa kekuatan militer menjadi kunci utama untuk mencapai perdamaian dan memuji keputusan Washington sebagai langkah tegas dalam menanggapi ancaman dari Iran.
Namun, respons dari dunia internasional justru menunjukkan kekhawatiran mendalam. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyampaikan peringatan atas eskalasi berbahaya ini. Ia menyerukan semua pihak untuk menghindari spiral konflik yang dapat membawa kawasan menuju kekacauan yang lebih luas. Menurutnya, solusi militer tidak akan pernah menjadi jalan keluar, dan satu-satunya harapan adalah kembali ke jalur diplomasi.
Presiden AS sendiri telah menyampaikan pidato kepada rakyatnya usai serangan, menyebut bahwa misi tersebut merupakan keberhasilan besar secara militer. Ia menyatakan bahwa serangan dilakukan setelah melewati pertimbangan matang selama beberapa hari, dan mengklaim fasilitas nuklir Iran kini telah dihancurkan sepenuhnya.
Namun, di balik klaim kemenangan militer itu, dunia kini menatap dengan cemas pada potensi lanjutan dari konflik ini. Pertanyaan besar kini menggantung: apakah serangan ini akan membawa Iran ke meja perundingan, atau justru mendorong negara itu mempercepat program senjata dan memperluas perlawanan?
Dalam situasi yang sangat dinamis ini, satu hal menjadi jelas—perdamaian di Timur Tengah kembali berada di ujung tanduk. (*)
Kategori :