Radarlambar.bacakoran.co - Perkembangan moneter Indonesia pada Mei 2025 menunjukkan tanda-tanda pelambatan. Berdasarkan laporan resmi Bank Indonesia, jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) mencapai Rp9.406,6 triliun. Angka tersebut tumbuh 4,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy), lebih rendah dari capaian April yang sebesar 5,2 persen.
Perlambatan ini terutama disebabkan oleh moderasi pertumbuhan uang beredar sempit (M1) dan uang kuasi. Komponen M1 mencatat pertumbuhan 6,1 persen yoy, sementara uang kuasi hanya naik 1,5 persen. Situasi ini menjadi indikasi bahwa dinamika konsumsi dan simpanan masyarakat mulai terkendali seiring dengan tekanan suku bunga acuan yang masih berada pada level ketat.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menyampaikan bahwa penyaluran kredit dan tagihan bersih kepada pemerintah pusat menjadi dua faktor dominan yang memengaruhi kinerja M2 selama periode ini. Penyaluran kredit perbankan tumbuh sebesar 8,1 persen yoy menjadi Rp7.903,5 triliun, meskipun mengalami perlambatan dari bulan sebelumnya yang tumbuh 8,5 persen.
Kredit kepada korporasi tetap menjadi pendorong utama, dengan pertumbuhan sebesar 11,6 persen yoy. Sementara itu, kredit yang disalurkan kepada debitur perorangan hanya naik sebesar 4 persen. Porsi pembiayaan kepada korporasi yang lebih besar menandakan bahwa sektor usaha masih menjadi ujung tombak pertumbuhan ekonomi, di tengah kondisi konsumsi rumah tangga yang cenderung konservatif.
Jika dilihat berdasarkan jenis penggunaannya, kredit modal kerja (KMK) tumbuh 4,5 persen. Pertumbuhan ini sebagian besar disumbang oleh sektor industri pengolahan dan sektor jasa, yang mencerminkan kegiatan produksi dan penyediaan layanan masih berlangsung aktif, meskipun menghadapi tekanan biaya dan permintaan.
Sementara itu, kredit investasi (KI) mencatat pertumbuhan tahunan sebesar 13 persen, turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 15 persen. Penurunan ini disebabkan oleh moderasi permintaan dari sektor pertambangan dan penggalian, serta transportasi dan komunikasi. Namun demikian, kontribusi sektor-sektor padat modal ini tetap krusial dalam mendukung agenda investasi jangka panjang nasional.
Di sisi lain, kredit konsumsi (KK) yang menjadi indikator penting daya beli masyarakat, tumbuh 8,7 persen yoy. Pertumbuhan tersebut sedikit lebih rendah dari April yang berada di level 8,9 persen. Komponen utama yang menyumbang pertumbuhan kredit konsumsi adalah kredit pemilikan rumah (KPR), kredit kendaraan bermotor (KKB), serta kredit multiguna, yang menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat masih berada dalam pola pertumbuhan, meskipun tidak setinggi sebelumnya.
Tagihan bersih kepada pemerintah pusat mengalami kontraksi yang cukup dalam, yakni minus 25,7 persen, melanjutkan tren negatif dari bulan April sebesar minus 21 persen. Hal ini bisa diartikan sebagai pengendalian belanja negara yang lebih ketat, atau berkurangnya kebutuhan pembiayaan langsung dari perbankan.
Di tengah tekanan domestik, aktiva luar negeri bersih justru menunjukkan perbaikan dengan pertumbuhan sebesar 3,9 persen yoy, lebih tinggi dari 3,6 persen pada April. Kenaikan ini mencerminkan arus masuk modal asing yang relatif stabil dan penyesuaian posisi cadangan devisa oleh otoritas moneter.
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, dalam analisis terpisah menyatakan bahwa perlambatan M2 dapat memberikan sinyal kepada Bank Indonesia untuk tetap berhati-hati dalam menentukan arah kebijakan suku bunga. Jika laju pertumbuhan kredit dan likuiditas terus melemah, opsi penyesuaian suku bunga akan menjadi perhatian utama guna menjaga keseimbangan antara inflasi dan pertumbuhan.
Dengan tren penyaluran kredit yang masih positif, terutama pada sektor produktif, potensi pemulihan ekonomi tetap terbuka. Namun tekanan dari faktor eksternal seperti ketidakpastian global, volatilitas nilai tukar, dan tren inflasi global harus tetap diwaspadai oleh pelaku pasar dan pembuat kebijakan dalam merancang langkah ke depan.(*/edi)