Radarlambar.bacakoran.co - Pemanfaatan kecanggihan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) mulai menimbulkan ancaman serius dalam bentuk penipuan digital. Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) memperingatkan publik bahwa penggunaan AI telah meningkatkan risiko kejahatan finansial, seiring maraknya penyalahgunaan teknologi dalam membobol pertahanan psikologis dan finansial masyarakat.
Perkembangan teknologi digital telah membuka celah baru bagi pelaku kejahatan untuk menjalankan aksi manipulatif. Mereka tak lagi mengandalkan teknik lama, tetapi memanfaatkan kecanggihan sistem AI untuk menciptakan penipuan yang menyerupai komunikasi asli. Suara, wajah, bahkan gestur tokoh tertentu bisa ditiru secara meyakinkan melalui AI, sehingga calon korban mudah tertipu dan terperdaya. Saluran digital seperti WhatsApp, Instagram, Telegram, TikTok, SMS, email, serta situs web menjadi jalur utama pelaku menyasar korbannya.
Satuan tugas pengawas OJK menilai bahwa salah satu aspek paling kritis dalam menghadapi serangan ini adalah kecepatan pelaporan dari pihak korban. Dalam banyak kasus, dana hasil penipuan segera dipindahkan oleh pelaku ke berbagai rekening atau dompet digital yang sulit dilacak jika tidak segera dilaporkan. Indonesia Anti-Scam Center (IASC) dibentuk sebagai pusat pelaporan untuk membantu mengoordinasikan respons dan menyelamatkan dana korban yang masih tersisa.
Analisis dari laporan-laporan sebelumnya menunjukkan bahwa modus penipuan digital terus berkembang dan kini berakar dari kelemahan psikologis korban. Ketidaktahuan terhadap legalitas produk keuangan masih menjadi celah utama yang dimanfaatkan pelaku. Selain itu, kepanikan juga kerap menjadi pemicu. Banyak korban tertipu karena informasi palsu yang menyatakan kerabat mengalami kecelakaan, tagihan kartu kredit yang harus dibatalkan, atau kewajiban pajak yang mendesak. Situasi emosional ini membuat korban mudah terperangkap.
Pada sisi lain, kesepian pun dimanfaatkan melalui skema penipuan asmara atau love scam, di mana pelaku menciptakan kedekatan emosional semu lalu memanipulasi korban untuk mengirim uang. Tidak kalah berbahaya, penawaran investasi dengan keuntungan besar tanpa risiko juga terus menelan korban. Skema seperti ini dirancang untuk mengincar orang-orang yang mudah tergoda oleh janji cepat kaya. Bahkan, suasana duka atau kesedihan akibat bencana pun tak luput dari eksploitasi. Penipu menyamar sebagai lembaga sosial atau individu yang meminta bantuan, padahal dana itu justru masuk ke kantong pelaku.
Ada pula skenario penipuan yang menargetkan orang-orang yang sekadar bosan. Tiket konser dan paket liburan menjadi umpan, dengan pelaku menjual tiket palsu dan membuat korban kehilangan uang dalam waktu singkat. Fenomena ini semakin menyebar, dan kecepatan pelaku dalam mengalihkan dana membuat upaya penyelamatan menjadi sulit jika korban telat melapor.
Untuk mengatasi situasi ini, masyarakat diminta segera melapor ke IASC melalui laman resmi di https://iasc.ojk.go.id. Pelaporan harus disertai data dan dokumen pendukung untuk mempercepat proses verifikasi. Akses cepat ke sistem pelaporan dianggap krusial dalam menanggulangi dampak penipuan.
OJK menegaskan pentingnya kewaspadaan dan literasi digital dalam menghadapi lanskap keuangan digital saat ini. Masyarakat diminta untuk tidak mudah percaya terhadap tawaran yang terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Pastikan hanya menggunakan layanan keuangan dari lembaga resmi yang terdaftar dan diawasi oleh otoritas. Pencegahan adalah langkah paling penting, namun ketika kejahatan sudah terjadi, kecepatan bertindak menjadi kunci untuk menghindari kerugian yang lebih besar.(*/edi)