12 Pekon Ambil Bagian Tampil di Panggung Budaya FSB XI

Minggu 20 Jul 2025 - 20:31 WIB
Reporter : Edi Prasetya
Editor : Lusiana Purba

BALIKBUKIT - Festival Sekala Bekhak (FSB) XI tak hanya menjadi agenda tahunan yang dinantikan masyarakat Lampung Barat, tapi juga menjadi ruang strategis bagi pekon-pekon untuk memperlihatkan eksistensinya dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal.

Pada malam-malam pertunjukan FSB XI yang digelar di Lapangan Merdeka, Kelurahan Pasar Liwa, partisipasi pelaku seni dari berbagai pekon justru menjadi sorotan. Mereka hadir dengan performa penuh energi dan autentik, menghadirkan tarian, musik Islami, hingga orkes gambus yang lahir dari tradisi yang hidup di tengah masyarakat.

Dari catatan panitia, setidaknya ada lebih dari 10 pekon yang mengirimkan tim kesenian untuk tampil dalam rangkaian FSB kali ini. Di antaranya, Pekon Bedudu, Gunung Sugih Liwa, Muoloh Tungga, hingga Canggu, dengan kekuatan masing-masing dalam bidang Nyambai, hadrah, dan gambus.

“Inilah wajah asli kebudayaan kita. FSB tahun ini menjadi bukti bahwa kekuatan budaya Lampung Barat ada di pekon. Mereka tidak datang karena kewajiban, tetapi karena kesadaran dan kecintaan terhadap adat,” ujar Kabid Pemasaran Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Disporapar Lambar, Endang Guntoro.

Endang menegaskan bahwa keterlibatan pekon dalam festival ini bukan bersifat simbolis. Mereka tampil dengan sumber daya sendiri: menyiapkan penari, pemusik, kostum, hingga pelatih. Semuanya bersumber dari komunitas lokal. Bahkan sebagian kelompok berasal dari sanggar-sanggar kecil yang dibina secara swadaya oleh tokoh adat dan pemuda setempat.

Penampilan Sanggar Banjarmasin dengan tarian Nyambai klasik, serta kelompok hadrah Hanggum Jejama Canggu, menunjukkan adanya kesinambungan antara nilai religius dan nilai adat yang membentuk identitas masyarakat Lampung Barat. Sementara itu, irama orkes gambus dari Buay Bejalan Diway, Jejama Pasar Liwa, hingga GPOG Beluper, menyatukan antara hiburan dan pesan budaya dalam satu sajian.

“Ini bukan sekadar panggung seni, tapi ruang transmisi nilai budaya antar generasi,” kata Endang.

Keterlibatan pekon juga dinilai mampu membuka ruang regenerasi seni. Banyak dari pelaku yang tampil merupakan anak-anak muda yang dilatih langsung oleh tokoh adat dan seniman lokal. Hal ini menjadi penting di tengah arus modernisasi yang kerap menjauhkan generasi muda dari akar tradisinya.

FSB XI menegaskan bahwa kebudayaan bukan milik eksklusif lembaga-lembaga formal, melainkan hidup dalam denyut komunitas. Pelaku seni di pekon adalah representasi dari sistem nilai yang diwariskan secara informal: dari orang tua ke anak, dari satu generasi ke generasi berikutnya.

“Kita tidak ingin festival hanya menjadi tontonan. Ia harus menjadi ruang tumbuh bagi budaya itu sendiri. Di sinilah peran pekon tak tergantikan,” pungkas Endang. (edi/lusiana)

 

Kategori :