Mengapa Tuyul dan Babi Ngepet Tak Mencuri Uang di Bank? Penjelasan Logis dan Mistik

Ilustrasi Tuyul. Sumber/Net --
Radarlambar.bacakoran.co - Takhayul merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Indonesia, termasuk kepercayaan akan cara memperoleh kekayaan secara instan melalui makhluk halus seperti tuyul dan babi ngepet.
Kedua makhluk ini sering digambarkan sebagai "alat" yang digunakan oleh pemiliknya untuk mencuri uang, terutama dari rumah ke rumah. Namun, pernahkah terpikir mengapa tuyul dan babi ngepet tidak mencuri di bank atau melalui teknologi modern seperti e-money?
Perspektif Budaya dan Sejarah
Fenomena tuyul dan babi ngepet diyakini muncul dari kecemburuan sosial masyarakat tradisional, khususnya di kalangan petani pada masa lalu. Budayawan Suwardi Endraswara dalam bukunya Dunia Hantu Orang Jawa (2004) menjelaskan bahwa kisah ini sudah lama menjadi bagian dari alam pikir masyarakat Jawa. Kepercayaan tersebut berkembang seiring perubahan ekonomi pada abad ke-19, seperti yang diungkap oleh Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012).
Pada masa itu, liberalisasi ekonomi membawa kesenjangan yang mencolok. Petani kecil yang kehilangan kuasa atas lahan mereka melihat kemunculan "orang kaya baru" dari kalangan pedagang pribumi maupun Tionghoa. Ketidakpahaman para petani terhadap sumber kekayaan para pedagang ini menimbulkan kecurigaan, yang kemudian dilabeli sebagai hasil kerja sama dengan makhluk halus seperti tuyul.
Narasi Sosial dan Stigma
Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong (2002) mencatat bahwa tuduhan terhadap orang kaya baru ini berdampak pada stigma sosial. Mereka sering dianggap memperoleh kekayaan dengan cara tidak wajar, seperti melalui pesugihan atau persekutuan dengan makhluk gaib. Narasi ini terus hidup dalam kepercayaan masyarakat hingga sekarang, membentuk mitos tentang tuyul dan babi ngepet.
Mengapa Tidak Mencuri di Bank?
Secara logis, kepercayaan terhadap tuyul dan babi ngepet lebih relevan di lingkungan tradisional, di mana aktivitas ekonomi berlangsung secara langsung dan tunai. Bank, sebagai institusi modern dengan sistem keamanan canggih, dianggap berada di luar jangkauan kemampuan makhluk halus. Selain itu, perkembangan teknologi seperti e-money juga tidak kompatibel dengan narasi mistis yang lebih terikat pada konteks masyarakat agraris tradisional.
Penelitian dan Sorotan Asing
Antropolog Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1976) juga mengamati fenomena ini. Menurutnya, keberadaan tuyul sering kali dikaitkan dengan praktik mistis tertentu, seperti perjanjian dengan roh di tempat keramat. Geertz mencatat ciri-ciri pemelihara tuyul, seperti kehidupan sederhana yang bertujuan mengelabui orang lain agar tidak curiga.
Namun, karena keberadaan tuyul dan babi ngepet hanya menjadi bagian dari kepercayaan masyarakat, sulit untuk mengaitkannya dengan realitas modern, apalagi dengan institusi seperti bank.
Kesimpulan
Narasi tuyul dan babi ngepet adalah produk dari kecemburuan sosial dan mistisisme masyarakat masa lalu yang terus hidup sebagai cerita budaya. Dalam konteks modern, kepercayaan ini lebih relevan sebagai bagian dari kajian budaya daripada fakta yang dapat diuji secara ilmiah. Bank dan teknologi modern, dengan sistem yang kompleks, berada di luar cakupan narasi tradisional ini. (*)