Indonesia Bergabung dengan BRICS: Peluang dan Tantangan dalam Era Global

Prabowo Subianto dan Lula da Silva (YouTube/Sekpres)--

Radarlambar.bacakoran.co -Pada tahun 2025, Indonesia resmi diterima sebagai anggota penuh BRICS, sebuah langkah yang disambut dengan antusias oleh berbagai pihak internasional. Keanggotaan ini dianggap sebagai peluang strategis bagi Indonesia untuk memperkuat peranannya di kancah global, terutama di antara negara-negara berkembang di belahan bumi selatan. Pemerintah Brasil, yang saat ini memegang ketua kepresidenan BRICS, menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar dan populasi terbanyak di Asia Tenggara memiliki peran penting dalam reformasi tata kelola global.

Keputusan ini juga didukung oleh Rusia, yang memimpin BRICS pada tahun 2024 dimana Rusia menilai jika keikutsertaan Indonesia akan semakin meningkatkan prestise serta otoritas BRICS serta memperkuat upaya menciptakan tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang. Keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS ini sendiri sudah disetujui pada KTT BRICS di Johannesburg pada 2023, dan kemudian diterima dengan baik saat masa kepemimpinan Rusia.

Bagi Indonesia, bergabung dengan BRICS memberikan berbagai peluang untuk meningkatkan kolaborasi dengan negara-negara berkembang lainnya dalam berbagai bidang. Hal ini termasuk ketahanan ekonomi, kerja sama dalam teknologi, pembangunan berkelanjutan, serta penanganan tantangan global seperti perubahan iklim dan ketahanan pangan. Indonesia menegaskan komitmennya untuk berkontribusi aktif dalam setiap agenda BRICS dan bekerja sama dengan negara anggota lainnya demi mewujudkan dunia yang lebih adil, damai, dan sejahtera.

Selain itu, hubungan yang semakin erat dengan Rusia membuka peluang kerja sama lebih lanjut, termasuk potensi pembelian minyak mentah dari Rusia. Beberapa tokoh pemerintah Indonesia, seperti Luhut Binsar Pandjaitan dan Bahlil Lahadalia, telah menyatakan keterbukaan terhadap opsi ini asalkan dapat membawa keuntungan bagi Indonesia. Meski demikian, keputusan tersebut harus mempertimbangkan berbagai faktor geopolitik dan kondisi ekonomi global. Sanksi internasional terhadap Rusia bisa memengaruhi proses pengapalan dan biaya minyak, yang perlu diperhitungkan secara matang.

Pakar ekonomi energi, Fahmy Radhi, juga menyoroti bahwa meskipun harga minyak Rusia lebih murah dibandingkan dengan negara lain, Indonesia harus berhati-hati terhadap potensi biaya tambahan yang timbul akibat sanksi dan kesesuaian jenis minyak Rusia dengan kapasitas kilang minyak Indonesia. Pengadaan minyak yang efisien dan menguntungkan tetap menjadi prioritas utama agar Indonesia tidak terjebak pada biaya yang tidak perlu.

Namun, Eksekutif Direktur IESR, Fabby Tumiwa, mengingatkan agar Indonesia tidak hanya tergiur oleh harga murah tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang dalam hubungan internasional. Indonesia perlu memastikan bahwa pembelian minyak dari Rusia tidak memengaruhi hubungan dengan negara-negara Barat, mengingat Indonesia memiliki sejumlah perjanjian dagang dengan negara-negara tersebut.

Secara keseluruhan, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS dan membuka peluang kerja sama lebih luas dengan negara-negara anggota, termasuk Rusia, menunjukkan langkah strategis dalam menghadapi tantangan global. Meskipun terdapat berbagai pertimbangan yang perlu dihitung matang-matang, langkah ini menjadi simbol dari peran Indonesia yang semakin diperhitungkan dalam politik global dan kerja sama internasional. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan