Pekerja Terlindungi! MK Sepakati Pembaruan Pengaturan Ketenagakerjaan Terpisah dari UU Cipta Kerja
Gedung Mahkamah Konstitusi RI./ Foto : dok/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan keputusan penting dengan mengabulkan sebagian permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Putusan ini menjadi sorotan karena menyarankan pengaturan mengenai ketenagakerjaan harus dipisahkan dari UU Cipta Kerja dan memberi waktu dua tahun untuk merancang regulasi baru yang lebih fokus pada sektor ketenagakerjaan.
Mengapa Pengaturan Ketenagakerjaan Harus Dipisahkan? Dalam putusannya yang mencakup 687 halaman, MK menilai bahwa materi ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja tidak sepenuhnya harmonis dan terkadang multitafsir. Oleh karena itu, MK menginstruksikan agar pemerintah merancang undang-undang khusus yang mengatur ketenagakerjaan dengan lebih jelas dan rinci. Menurut MK, penting untuk menghindari ketidakharmonisan antara peraturan ketenagakerjaan dan ketentuan hukum lainnya. Pemerintah diberikan waktu dua tahun untuk merumuskan dan mengeluarkan regulasi tersebut.
Tenaga Kerja Asing: Prioritas Harus pada Pekerja Indonesia Salah satu fokus utama MK dalam putusan ini adalah penggunaan tenaga kerja asing (TKA). MK menilai bahwa pengaturan dalam Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003 yang diubah oleh UU Cipta Kerja kurang tegas dalam membatasi penggunaan TKA. Mahkamah mengingatkan bahwa tenaga kerja Indonesia harus menjadi prioritas, dan aturan mengenai TKA perlu diatur secara lebih jelas agar tidak terjadi ketidakadilan dalam pemberian kesempatan kerja.
Kejelasan Pengaturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Isu lain yang tak kalah penting adalah pengaturan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Dalam UU Cipta Kerja, pengaturan tentang jangka waktu PKWT dinilai terlalu fleksibel dan tidak memberikan kepastian hukum bagi pekerja. MK pun menekankan bahwa jangka waktu PKWT, termasuk perpanjangannya, harus dibatasi maksimal lima tahun untuk melindungi hak-hak pekerja.
Pekerja Alih Daya: Perlindungan Hukum yang Lebih Jelas MK juga menyoroti pentingnya pengaturan yang lebih rinci mengenai pekerja alih daya atau outsourcing. Mahkamah mengingatkan bahwa pekerja yang dialihdayakan ke perusahaan lain harus mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Oleh karena itu, jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan perlu diatur secara jelas untuk menghindari potensi pelanggaran hak pekerja.
Waktu Kerja dan Istirahat: Kepastian Hukum yang Dibutuhkan Salah satu bagian yang menuai perhatian dalam UU Cipta Kerja adalah pengaturan mengenai waktu kerja dan istirahat. Dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja, ketentuan mengenai istirahat dua hari untuk lima hari kerja dianggap bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena pengaturannya hanya ditetapkan dalam peraturan pemerintah. MK menegaskan bahwa undang-undang harus memberikan kepastian hukum terkait waktu kerja dan istirahat yang adil bagi pekerja.
Pesangon dan Uang Penggantian Hak: Tetap Mengacu pada UU Cipta Kerja Terkait dengan besaran pesangon, MK memutuskan untuk mempertahankan ketentuan dalam UU Cipta Kerja. Artinya, bagi pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau memasuki pensiun, ketentuan mengenai pesangon tetap mengacu pada UU Cipta Kerja. Berikut adalah rincian hak yang diterima pekerja yang di-PHK:
Pesangon:
Masa kerja kurang dari 1 tahun: 1 bulan upah.
Masa kerja 1-2 tahun: 2 bulan upah.