Nuklir Pilihan Energi di Tengah Ancaman Krisis Energi Dunia
Uranium, mineral bahan baku energi nuklir. Foto/AFP--
Radarlambar.bacakoran.co- Jerman akan menggelar pemilihan umum pada 23 Februari 2025, yang diperkirakan akan membawa dampak besar terhadap kebijakan energi negara tersebut, khususnya mengenai penggunaan energi nuklir.
Keputusan Jerman untuk menutup seluruh reaktor nuklirnya pasca-kecelakaan Fukushima pada 2011 kini dihadapkan pada kritik, dengan salah satu partai besar negara ini menyebut keputusan tersebut sebagai "kesalahan strategis" yang mengurangi kemandirian energi mereka.
Ketika perang Rusia-Ukraina meletus pada 2022, Jerman pun merasakan dampak langsung dari keputusan tersebut, karena pasokan gas dari Rusia yang sebelumnya sangat bergantung harus dihentikan. Menghadapi krisis energi yang semakin mendalam, Jerman kesulitan mencari alternatif sumber energi yang dapat menggantikan gas alam dari Rusia.
Keadaan Jerman ini mendapat perhatian dari berbagai negara, terutama negara-negara Eropa. Belgia, misalnya, memutuskan untuk menunda penutupan PLTN mereka yang sedianya dilakukan pada 2025 hingga tahun 2035. Bahkan, beberapa negara lain mulai memperluas kapasitas nuklir mereka sebagai solusi untuk ketergantungan energi.
Tahun 2023 diakui sebagai tonggak penting dalam kebangkitan energi nuklir secara global, dengan semakin banyaknya negara yang membangun reaktor baru. Hingga 2025, terdapat 64 reaktor nuklir yang sedang dibangun dan 87 lainnya dalam tahap perencanaan.
Indonesia Menghadapi Pilihan Energi Stabil
Lantas, apakah Indonesia juga harus mengikuti langkah ini? Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, berpendapat bahwa energi nuklir bisa menjadi opsi yang lebih stabil dibandingkan dengan energi baru terbarukan (EBT). Meskipun Indonesia memiliki banyak potensi EBT seperti tenaga surya, Laksana menilai bahwa paparan sinar matahari di Indonesia tidak seoptimal negara-negara dengan iklim lebih stabil, seperti India.
Laksana juga menyoroti tantangan pada sektor energi panas bumi yang mahal dan memiliki dampak lingkungan yang signifikan, serta angin yang tidak selalu berhembus secara konsisten untuk tenaga angin.
Dengan perkembangan pesat EBT dalam beberapa tahun terakhir, Laksana menilai Indonesia membutuhkan sumber energi yang lebih stabil dan dapat diandalkan. Di sinilah energi nuklir memainkan peran penting.
Dukungan dari Pemerintah untuk Energi Nuklir
Pandangan Laksana ini didukung oleh beberapa pihak dalam pemerintahan. Presiden Prabowo Subianto, dalam Forum Pengusaha Indonesia-Brazil pada November 2023, menyatakan bahwa Indonesia berencana untuk mengembangkan reaktor nuklir domestik dan membuka peluang kerjasama dengan Brasil yang telah mengoperasikan PLTN sejak 1985.
Dewan Energi Nasional mencatat bahwa beberapa perusahaan internasional, termasuk dari Rusia, AS, Korea Selatan, dan Eropa, telah menyatakan minat untuk membangun reaktor di Indonesia, dengan beberapa di antaranya sudah menawarkan estimasi biaya pembangunan dan harga jual listrik.
Namun, sejumlah analis memperingatkan bahwa biaya pembangunan PLTN seringkali jauh lebih tinggi dari perkiraan awal. Putra Adhiguna, analis dari Energy Shift Institute, menekankan pentingnya berhati-hati dalam merencanakan anggaran proyek nuklir, karena risiko pembengkakan biaya dan masalah anggaran yang bisa terjadi di kemudian hari.
Menimbang Risiko dan Biaya Nuklir