Gaza dalam Krisis: Ketika Mencari Makan Menjadi Perjuangan Hidup

Israel menyerang kembali gaza. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Kehidupan di Jalur Gaza kini berubah menjadi perjuangan yang sangat berat. Setiap hari, jutaan penduduk Gaza terbangun dengan satu pertanyaan: apakah mereka akan bisa menemukan makanan untuk bertahan hidup hari ini?
Sejak Maret 2025, Israel menghentikan sepenuhnya pengiriman bantuan kemanusiaan ke wilayah Gaza. Dua bulan telah berlalu tanpa pasokan yang memadai, meninggalkan Gaza dalam kondisi yang semakin terpuruk. Tidak ada bahan pokok, bahan bakar, atau harapan untuk masa depan.
Harga bahan pangan melonjak sangat tinggi. Sayuran yang dulunya mudah didapat, kini menjadi barang langka dan mahal. Tomat, yang sebelumnya dibeli dengan beberapa shekel, sekarang dibanderol lebih dari 30 shekel, sementara gula mencapai harga 60 shekel per kilogram. Banyak warga Gaza kehilangan mata pencaharian akibat perang, dan biaya hidup yang semakin meningkat membuat mereka semakin terdesak.
Lebih dari 2,2 juta penduduk Gaza kini sepenuhnya bergantung pada bantuan internasional yang semakin berkurang. Bahkan dapur umum yang dikelola oleh Badan Pangan Dunia (WFP) telah berhenti beroperasi karena persediaan tepung dan bahan bakar telah habis. Di tengah kekurangan ini, kayu bakar menjadi barang yang sangat berharga, memaksa warga untuk mencari potongan kayu dari bangunan yang hancur sebagai bahan bakar.
Di sisi lain, sektor kesehatan Gaza hampir mencapai titik kehancuran. Rumah sakit kewalahan menghadapi jumlah korban, kekurangan obat-obatan, serta terbatasnya listrik dan air bersih. Banyak klinik yang berfungsi ganda, selain sebagai tempat perawatan, juga digunakan sebagai tempat berlindung bagi pengungsi.
Konflik yang terus berlanjut membuat warga Gaza hidup dalam ketakutan tanpa henti. Ledakan terus mengguncang kota-kota seperti Rafah, Khan Younis, dan Gaza Timur, tanpa ada tempat aman untuk berlindung. Dalam dua minggu terakhir, lebih dari 423.000 orang kembali mengungsi.
Bantuan kemanusiaan semakin terhambat, dan sejumlah lembaga internasional serta PBB mengecam penggunaan bantuan sebagai alat tekanan politik. Mereka menyatakan bahwa tindakan ini melanggar hukum internasional dan dapat dianggap sebagai kejahatan perang.
Namun, di balik angka-angka dan pernyataan politik, terdapat kisah-kisah manusia yang tak terjangkau oleh statistik. Anak-anak yang tumbuh dalam kelaparan, orang tua yang harus memilih siapa yang akan makan hari itu, dan generasi muda yang tidak pernah mengenal damai.
Gencatan senjata yang sempat ada di awal 2025 memberikan sedikit harapan, tetapi ketika kesepakatan berakhir dan negosiasi gagal, konflik kembali meletus. Dengan penutupan perlintasan dan operasi militer yang terus berlanjut, warga Gaza kehilangan akses ke dunia luar serta hak dasar untuk bertahan hidup.
Kini, setiap suara yang terdengar dari langit bisa berarti kematian, dan setiap malam, doa-doa mereka hanya bergantung pada satu harapan: semoga hari esok tidak lebih buruk daripada hari ini. (*)