Radarlambar.bacakoran.co – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkap praktik curang yang dilakukan sejumlah pengusaha sawit dalam menguasai lahan negara melebihi izin Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (30/1), Nusron menjelaskan bahwa banyak perusahaan sawit yang menguasai lahan lebih luas dari izin yang mereka miliki.
"Misalnya, ada perusahaan yang punya izin HGU seluas 8 ribu hektare. Setelah kita ukur ulang, ternyata mereka menguasai 10 ribu hektare, ada yang 11 ribu hektare, bahkan ada juga yang 9 ribu hektare. Jadi, mereka memang punya cadangan lahan yang tidak tercatat secara resmi," ujar Nusron.
Temuan ini berasal dari investigasi yang dilakukan Kementerian ATR/BPN dengan mengambil sampel delapan perusahaan di 12 provinsi. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan luas lahan yang digunakan sesuai dengan izin yang dikeluarkan.
Menurut Nusron, modus seperti ini sudah menjadi praktik umum di kalangan pengusaha sawit. Dengan menguasai lahan lebih dari izin yang diberikan, mereka bisa mendapatkan keuntungan besar tanpa harus membayar pajak dan kewajiban lainnya kepada negara.
“Kita tidak akan diam saja melihat pelanggaran ini. Pemerintah akan mengambil langkah tegas untuk menangani masalah ini,” tegas Nusron.
Nusron menjelaskan bahwa pemerintah tengah mempertimbangkan berbagai sanksi yang bisa diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang terbukti menyerobot lahan negara.
"Akan kita lihat bagaimana mekanismenya. Apakah mereka akan dikenakan pajak tambahan, denda, atau bahkan lahannya diambil alih oleh negara. Bisa juga mereka diberikan kesempatan untuk mengajukan izin HGU baru, tetapi dengan syarat tertentu," tambahnya.
Langkah tegas yang diambil Nusron mendapat dukungan dari DPR, khususnya Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda. Ia menegaskan bahwa DPR siap mendukung langkah pemerintah dalam menindak pengusaha sawit yang melanggar aturan.
"Kalau memang landasan hukumnya belum cukup kuat, kami akan menginisiasi pembuatan undang-undang baru. Saat ini, kami sedang menggodok Undang-Undang Administrasi Pertanahan yang bisa menjadi dasar hukum yang lebih jelas dalam menangani kasus seperti ini," ujar Rifqinizamy.
Praktik serobot lahan ini tidak hanya merugikan negara dalam hal pajak dan pendapatan, tetapi juga berkontribusi terhadap berbagai masalah lingkungan dan sosial.
Banyak kasus di mana masyarakat adat atau petani kecil kehilangan akses ke lahan yang seharusnya mereka manfaatkan. Selain itu, ekspansi sawit ilegal sering kali menyebabkan deforestasi dan merusak ekosistem hutan yang dilindungi.
Pemerintah diharapkan tidak hanya menindak perusahaan nakal, tetapi juga memperbaiki sistem perizinan dan pengawasan agar praktik serupa tidak terus terjadi di masa depan.
Dengan adanya langkah tegas dari Kementerian ATR/BPN dan dukungan DPR, diharapkan tata kelola lahan di Indonesia semakin transparan dan adil bagi semua pihak. (*/rinto)