RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, masyarakat masih memegang teguh sebuah tradisi unik untuk menghormati leluhur mereka, yaitu ritual Ma’nene.
Bagi mereka, kematian bukanlah pemisah, melainkan jembatan yang menghubungkan cinta dan penghormatan yang abadi terhadap keluarga yang telah tiada.
Ma’nene menjadi simbol nyata akan kasih sayang yang tidak luntur oleh waktu.
Tradisi ini berawal dari kisah seorang pemburu bernama Pong Rumasek, yang suatu hari menemukan kerangka manusia di hutan dalam kondisi tidak layak.
Tersentuh oleh belas kasih, ia merawat jenazah tersebut dengan membersihkannya dan memberinya pakaian layak.
Setelah kejadian itu, Pong Rumasek selalu mendapatkan hasil buruan yang melimpah dan panen yang berhasil, yang ia yakini sebagai balasan dari arwah atas tindakannya.
Dari cerita inilah lahir kebiasaan merawat jasad leluhur, yang kemudian diwariskan kepada masyarakat Baruppu dan sekitarnya.
Upacara Ma’nene biasanya dilakukan tiga tahun sekali, umumnya pada bulan Agustus atau menjelang musim panen.
Waktu tersebut dipilih karena dianggap sebagai momen yang tepat untuk memohon perlindungan dan berkah dari leluhur.
Upacara ini dimulai dengan melakukan doa yang dipimpin oleh pemuka adat.
Setelah itu, jenazah yang telah lama disimpan dalam Patane (makam tradisional berbentuk rumah) dikeluarkan untuk dibersihkan dengan hati-hati.
Setelah dijemur sebentar, jenazah akan dikenakan pakaian baru, terkadang juga dilengkapi dengan barang-barang kesayangan semasa hidup, sebagai bentuk penghormatan dan pengingat kenangan bersama.
Dalam prosesi tersebut, keluarga besar berkumpul. Para pria biasanya mengelilingi jenazah sambil menyanyikan lagu-lagu tradisional yang penuh makna emosional.
Tarian-tarian juga ditampilkan sebagai luapan rasa dan bentuk penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Tradisi Ma’nene erat kaitannya dengan kepercayaan kuno masyarakat Toraja, yaitu Aluk Todolo, yang meyakini bahwa roh leluhur tetap hidup berdampingan dengan manusia.