Kesepakatan Baru di Gaza, Pembebasan Tahanan dan Penolakan Rencana Trump

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Foto Dok/Net --

Radarlambar.bacakoran.co - Pada Senin (27/1), Israel mengumumkan bahwa warga Palestina akhirnya dapat kembali ke wilayah utara Jalur Gaza setelah kesepakatan terbaru tercapai dengan Hamas. Kesepakatan ini mengikuti gencatan senjata yang disepakati pada pertengahan Januari dan telah menghentikan serangan Israel ke Gaza selama lebih dari setahun.

Kesepakatan tersebut juga mencakup pembebasan lebih banyak sandera dan tahanan, dengan Israel berkomitmen untuk membebaskan enam tahanan lainnya. Israel sebelumnya melarang warga Palestina kembali ke Gaza utara melalui jalur pesisir, dan sempat menuduh Hamas tidak memenuhi kesepakatan gencatan senjata dengan menahan tahanan perempuan sipil. Namun, Hamas akhirnya setuju untuk membebaskan lebih banyak tahanan, dengan tiga orang dibebaskan pada Kamis (29/1), dan tiga lainnya dijadwalkan pada Sabtu (1/2).

Namun, meskipun adanya kemajuan dalam gencatan senjata, ketegangan tetap tinggi terkait dengan rencana Presiden AS Donald Trump. Trump menyarankan agar Gaza dijadikan tempat pemindahan warga Palestina ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania. Dalam pernyataannya, Trump menyebut Gaza sebagai wilayah yang "dibongkar," dan berharap negara-negara ini dapat menerima warga Gaza yang dipindahkan.

Namun, rencana tersebut mendapat penolakan keras dari pemimpin Palestina Mahmoud Abbas, yang mengutuk segala upaya yang bertujuan mengusir warga Palestina dari Gaza. Bassem Naim, anggota biro politik Hamas, dengan tegas menyatakan bahwa warga Palestina akan menggagalkan rencana tersebut. Mereka melihat ini sebagai kelanjutan dari usaha-usaha sebelumnya untuk menggusur mereka dari tanah air mereka, sebuah upaya yang sudah berlangsung selama beberapa dekade.

Reaksi terhadap rencana Trump ini juga datang dari Gerakan Jihad Islam, yang bertarung bersama Hamas di Gaza. Mereka menyebutkan bahwa ide tersebut sangat menyedihkan. Bagi warga Palestina, upaya pemindahan mereka dari Gaza mengingatkan pada peristiwa kelam dalam sejarah mereka, yakni ‘Nakba’—sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pemindahan massal warga Palestina yang terjadi selama pembentukan negara Israel pada tahun 1948.

Rashad al-Naji, seorang warga Gaza yang telah mengungsi, menegaskan dengan tegas bahwa mereka tidak akan meninggalkan Palestina atau Gaza, apapun yang terjadi. Ini menggambarkan tekad kuat warga Palestina untuk tetap bertahan di tanah mereka meski terancam oleh berbagai upaya pemindahan.

Sementara itu, meskipun kesepakatan pembebasan tahanan memberi sedikit angin segar, masa depan Gaza tetap penuh ketidakpastian. Dengan berbagai tekanan politik internasional, baik dari Israel, Amerika Serikat, maupun negara-negara tetangga, warga Palestina terus berjuang untuk mempertahankan tanah air mereka dan melawan upaya pemindahan yang mengancam identitas dan eksistensi mereka di Gaza.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan