Dibekuk di Ruang Bawah Tanah Rumah Sakit, Mahasiswa Indonesia di AS Dideportasi karena Aktivisme?

Ilustrasi/net--
Radarlambar.bacakoran.co – Di balik tembok dingin sebuah rumah sakit di Minnesota, kisah tragis menimpa seorang warga Indonesia, Aditya Harsono, yang tiba-tiba ditangkap oleh otoritas Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE). Penangkapan tersebut terjadi hanya beberapa hari setelah visanya sebagai mahasiswa dicabut yang dilakukan tanpa pemberitahuan.
Aditya, yang tinggal di kota Marshall, bukan hanya seorang mahasiswa biasa. Ia juga bekerja sebagai manajer rantai pasokan di rumah sakit tempat ia ditangkap. Ironisnya, penangkapan itu dilakukan secara diam-diam di ruang bawah tanah rumah sakit, dalam pertemuan yang diatur khusus agar ICE bisa menahannya tanpa kegaduhan.
Pria berusia 33 tahun itu sebelumnya tinggal secara sah di Amerika Serikat. Namun, visanya mendadak dicabut pada 23 Maret lalu, dan hanya empat hari kemudian, ia ditahan. Saat ini, Aditya mendekam di Penjara Daerah Kandiyohi, menghadapi ketidakpastian akan masa depannya.
Dari Aktivisme hingga Ancaman Deportasi
Latar belakang pencabutan visa Aditya menimbulkan tanda tanya besar. Kasus bermula dari keterlibatannya dalam protes Black Lives Matter pada 2022, di mana ia sempat ditangkap atas dugaan pelanggaran ringan seperti membuat grafiti dan berkumpul secara tidak sah. Meski dakwaan tersebut akhirnya dibatalkan demi keadilan, kejadian itu tampaknya tetap meninggalkan jejak dalam catatan imigrasinya.
Pihak keluarga percaya bahwa masa lalu Aditya sebagai aktivis, termasuk dukungannya terhadap isu-isu Palestina, turut memengaruhi keputusan pencabutan visanya. ICE sendiri menyebut bahwa Aditya "berpotensi mengancam keselamatan publik", sebuah klaim yang dianggap keluarganya tak berdasar dan politis.
Pukulan Berat bagi Keluarga
Penahanan ini bukan hanya memukul Aditya secara pribadi, tapi juga menghancurkan stabilitas keluarganya. Ia kehilangan pekerjaannya, dan istrinya, Peyton, kini harus mengurus bayi mereka yang masih berusia 8 bulan seorang diri, sambil bekerja penuh waktu di pusat perawatan ketergantungan zat.
Kehilangan peran suami di rumah sangat terasa. Momen-momen penting dalam perkembangan bayi mereka kini hanya bisa diceritakan ulang, tanpa kehadiran Aditya. Bahkan, perayaan Idulfitri pertama sang putri pun berlangsung tanpa ayah di sisinya.
Proses Hukum yang Masih Berjalan
Meskipun seorang hakim imigrasi sempat menyetujui pembebasan Aditya, harapan itu kandas ketika Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) mengajukan banding atas keputusan tersebut. Kini, status imigrasinya berada dalam proses penyesuaian melalui pengajuan I-130 dan I-485 — dua formulir penting untuk mendapatkan status penduduk tetap melalui hubungan keluarga.
Pencabutan visa pelajarnya dinilai janggal oleh pengacaranya, terutama karena permohonan perubahan status telah diajukan jauh sebelum visa itu dicabut. Langkah ICE dianggap sebagai upaya sistematis untuk mendiskreditkan status hukum Aditya dan menempatkannya dalam kategori "imigran ilegal".
Bagian dari Pola Lebih Besar?
Aditya bukan satu-satunya mahasiswa yang mengalami nasib serupa. Ia adalah mahasiswa ketiga dari Southwest Minnesota State University (SMSU) yang visanya dicabut dalam beberapa bulan terakhir. Pola ini menimbulkan kekhawatiran akan pengetatan kebijakan imigrasi yang menyasar warga asing, bahkan mereka yang memiliki catatan hukum bersih dan kontribusi profesional di AS.
Dengan segala tekanan yang dihadapi, keluarga Aditya kini terus memperjuangkan hak dan kebebasannya melalui jalur hukum. Bagi mereka, ini bukan sekadar soal visa atau pekerjaan—ini adalah soal keadilan dan hak untuk hidup dengan aman serta bermartabat. (*)