Bertambahnya Kasus Bunuh Diri Tentara Israel Usai Agresi di Gaza

Seruan Mengejutkan Ribuan Tentara Cadangan Israel: Akhiri Perang Demi Sandera. Foto/net--
Radarlambar.bacakoran.co -Jumlah tentara Israel yang bunuh diri dilaporkan mengalami lonjakan signifikan sejak dimulainya agresi militer di Jalur Gaza. Berdasarkan laporan media Israel, lebih dari 40 tentara telah mengakhiri hidup mereka setelah mengalami tekanan psikologis berat akibat keterlibatan dalam konflik yang mematikan dan berkepanjangan.
Surat kabar Haaretz mengungkap bahwa setidaknya 35 kasus bunuh diri terjadi selama periode 2023 hingga akhir 2024. Angka ini melonjak tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan tambahan tujuh kasus baru tercatat pada awal 2025. Banyak kasus lainnya diduga belum tercatat secara resmi, mengingat tidak semua insiden diumumkan ke publik oleh otoritas militer.
Yang mengkhawatirkan, banyak tentara yang bunuh diri dikabarkan dimakamkan secara diam-diam tanpa prosesi militer resmi. Ini mencerminkan sensitivitas tinggi terhadap isu tersebut di dalam tubuh militer Israel sendiri.
Situasi ini semakin pelik dengan adanya laporan bahwa militer Israel merekrut tentara cadangan yang memiliki riwayat gangguan mental. Dalam upaya mengatasi kekurangan personel, tentara bahkan merekrut kembali mantan prajurit yang sebelumnya diberhentikan karena alasan psikologis. Lebih dari 9.000 tentara dilaporkan telah menjalani perawatan kesehatan mental sejak konflik di Gaza dimulai.
Menurut sumber internal militer, keputusan tersebut diambil karena rendahnya tingkat kesediaan pasukan aktif untuk tetap berada di medan tempur. Hal ini menyebabkan beban mental semakin berat, tidak hanya bagi tentara yang telah kembali dari medan perang, tetapi juga bagi mereka yang baru bergabung meski belum pulih sepenuhnya secara mental.
Data dari Kementerian Pertahanan Israel juga menunjukkan bahwa sekitar 43 persen tentara yang terluka dan dirawat di pusat rehabilitasi mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD). Diperkirakan angka ini akan terus meningkat, dengan proyeksi bahwa pada 2030, hingga 100.000 orang memerlukan perawatan kesehatan mental akibat dampak perang, dan setidaknya separuh dari mereka mengalami PTSD berat.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius akan dampak psikologis jangka panjang dari perang terhadap prajurit. Bahkan, menurut laporan, banyak dari mereka yang telah dirawat dinilai tidak layak lagi untuk kembali ke medan perang karena trauma yang begitu dalam.
Dengan meningkatnya kebutuhan akan dukungan kesehatan mental dan makin meluasnya dampak psikologis terhadap pasukan, situasi ini menunjukkan bahwa konflik bersenjata tidak hanya menyisakan luka fisik, tetapi juga kerusakan mental yang mendalam dan berkepanjangan di kedua sisi medan perang. (*)