Radarlambar.bacakoran.co - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa pendidikan wajib belajar sembilan tahun harus digratiskan, baik di sekolah negeri maupun swasta. Keputusan itu dibacakan dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Selasa, 27 Mei 2025.
Putusan ini menyasar ketimpangan yang timbul dari frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas. Mahkamah menilai ketentuan tersebut telah menimbulkan diskriminasi terhadap peserta didik yang tidak dapat tertampung di sekolah negeri dan akhirnya harus menanggung beban biaya di sekolah swasta.
Dalam pertimbangannya, MK menunjukkan adanya kesenjangan daya tampung antara sekolah negeri dan swasta. Pada tahun ajaran 2023/2024, misalnya, jumlah siswa SD yang ditampung sekolah negeri mencapai sekitar 970 ribu, sementara sekolah swasta menampung lebih dari 173 ribu siswa. Untuk jenjang SMP, sekolah negeri menampung sekitar 246 ribu siswa, sedangkan swasta menampung lebih dari 104 ribu siswa.
Data ini menjadi dasar bagi MK dalam menilai bahwa negara belum sepenuhnya mampu menyediakan pendidikan dasar tanpa biaya kepada seluruh warga negara. Keterbatasan daya tampung sekolah negeri menyebabkan sebagian masyarakat tidak memiliki pilihan selain menyekolahkan anaknya ke lembaga swasta, yang seringkali memerlukan biaya lebih besar.
MK menegaskan bahwa Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 memerintahkan negara untuk membiayai pendidikan dasar tanpa memberikan batasan hanya pada satuan pendidikan negeri. Dengan demikian, tanggung jawab negara juga mencakup lembaga pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat, termasuk sekolah dan madrasah swasta.
Mahkamah juga menekankan perlunya kebijakan afirmatif dari pemerintah, terutama bagi keluarga yang hanya memiliki akses ke sekolah swasta akibat keterbatasan fasilitas negeri. Negara dinilai memiliki kewajiban untuk memastikan anggaran pendidikan dialokasikan secara adil dan tepat sasaran, guna menjamin akses pendidikan dasar yang setara bagi seluruh warga negara.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga individu warga negara, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Ketiganya berasal dari latar belakang yang berbeda, namun memiliki kepentingan yang sama dalam memastikan hak atas pendidikan dasar yang layak dan tanpa diskriminasi tetap terjaga.
Putusan ini diharapkan dapat menjadi tonggak perbaikan sistem pendidikan nasional, khususnya dalam menjamin kesetaraan akses dan keadilan bagi seluruh peserta didik, tanpa memandang asal sekolah.