RADARLAMBAR.BACAKORAN.CO – Di tengah sorotan tajam publik terhadap kinerja pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengakui masih memiliki pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan. Lima orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi hingga kini masih belum berhasil ditangkap. Mereka masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan menjadi perhatian serius lembaga antirasuah tersebut.
Dalam pemaparan kinerja semester pertama tahun 2025, KPK menyampaikan bahwa lima buronan tersebut masih menjadi "utang" yang belum terbayarkan kepada publik. Meski sejumlah upaya telah dilakukan, baik melalui jalur hukum nasional maupun kerja sama internasional, hingga kini hasilnya belum membuahkan keberhasilan.
Kelima orang itu bukan nama baru dalam daftar buronan. Mereka tersangkut berbagai perkara besar yang sempat menggemparkan publik dan mencoreng wajah integritas lembaga negara, institusi politik, hingga industri pertahanan. Keberadaan mereka yang belum terlacak menimbulkan pertanyaan sekaligus keresahan di kalangan masyarakat.
Salah satu buronan yang paling lama masuk radar KPK adalah Paulus Tannos Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra. Ia tersangkut kasus besar pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang telah menyeret banyak nama penting dalam pusaran korupsi proyek nasional bernilai triliunan rupiah.
Selain itu ada Harun Masiku nama yang terus menghantui integritas proses politik di tanah air. Ia adalah calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan yang terjerat kasus dugaan suap terhadap mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019–2024. Sejak dinyatakan buron, keberadaan Harun Masiku masih menjadi misteri dan seringkali memunculkan polemik baru seputar kecepatan dan ketegasan KPK dalam menangani kasus ini.
Kemudian ada Kirana Kotama, pemilik PT Perusa Sejati, yang terlibat dalam dugaan suap pengadaan kapal angkut strategis Strategic Sealift Vessel (SSV) untuk Pemerintah Filipina. Kasus ini menyeret nama besar di industri pertahanan nasional, yakni PT PAL Indonesia (Persero), dan menjadi preseden buruk dalam ekspor alat pertahanan ke negara tetangga.
Nama lain yang juga masuk daftar DPO adalah Emylia Said dan Herwansyah. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemberian suap kepada perwira tinggi Polri, yakni AKBP Bambang Kayun Bagus Panji Sugiharto. Selain itu, mereka juga diduga terlibat dalam pemalsuan dokumen yang berkaitan dengan sengketa hak waris PT ACM, yang kini tengah bergulir di Bareskrim Mabes Polri.
KPK mengakui bahwa pengejaran terhadap kelima buronan ini tidak mudah. Upaya telah dilakukan secara masif, termasuk berkoordinasi dengan penegak hukum di tingkat nasional serta menjalin kerja sama lintas negara untuk memburu keberadaan para tersangka yang diduga bersembunyi di luar negeri. Namun hasilnya masih nihil.
Lembaga antirasuah berharap penyelesaian terhadap lima kasus ini bisa segera tuntas sebab penangkapan para buronan akan memberikan sinyal kuat kepada publik bahwa hukum tetap ditegakkan tanpa pandang bulu, dan bahwa pelaku kejahatan kerah putih tidak akan dibiarkan bebas terlalu lama.
Hingga kini, gambar wajah dan identitas kelima DPO tersebut telah dipublikasikan ke publik dalam berbagai kanal resmi. Namun, keberadaan fisik mereka masih menjadi misteri. KPK sendiri menyebut kelima DPO ini sebagai simbol dari “utang moral dan operasional” lembaga kepada rakyat Indonesia.
Di tengah rendahnya frekuensi Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada semester pertama 2025 yang hanya tercatat dua kali ketidakberhasilan menangkap para buronan ini menambah tantangan bagi KPK. Apalagi kepercayaan publik terhadap lembaga antikorupsi tersebut masih terus diuji.
Ke depan, publik tentu menantikan langkah-langkah lebih konkret dan agresif dari KPK, bukan hanya dalam hal penindakan tetapi juga dalam menjaga integritas dan transparansi proses hukum. Seluruh mata kini tertuju pada komitmen nyata lembaga ini untuk menuntaskan utang penangkapan yang sudah terlalu lama menggantung. (*/rinto)