Warga Tionghoa di Indonesia Banyak Tidak Gunakan Nama Asli, Alasannya Begini

Pembeli melihat pernak pernik imlek yang dijual di kawasan Pecinan Glodok, Jakarta. Foto/CNBC--
Radarlambar.bacakoran.co- Mayoritas warga Tionghoa di Indonesia, khususnya yang lahir sebelum tahun 2000, kini cenderung menggunakan nama Indonesia dengan nuansa Jawa, seperti Budi Hartono dan Djoko Susanto, meski mereka memiliki nama asli Tionghoa.
Hal ini tidak lepas dari kebijakan diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, yang mewajibkan warga keturunan asing, termasuk etnis Tionghoa, mengganti nama mereka.
Pada tahun 1967, pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden No. 240/1967 yang mengharuskan warga Tionghoa mengganti nama mereka sebagai bagian dari kebijakan asimilasi.
Kebijakan ini dipicu oleh ketegangan politik pada masa itu, di mana segala hal yang terkait dengan Tiongkok dipandang negatif, terutama setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang mengaitkan komunisme dengan negara tersebut.
Dalam konteks tersebut, warga Tionghoa di Indonesia memilih mengganti nama mereka dengan nama Indonesia untuk diterima oleh masyarakat dan menunjukkan kesetiaan mereka terhadap negara.
Selain itu, pada tahun yang sama, Soeharto juga mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14/1967 yang membatasi kebudayaan Tionghoa, termasuk penggunaan bahasa Mandarin dan perayaan Tahun Baru Imlek.
Kebijakan ini melarang ekspresi budaya Tionghoa, yang kemudian menyebabkan masyarakat etnis Tionghoa tidak dapat merayakan tradisi mereka dengan bebas selama lebih dari tiga dekade.
Selain pembatasan budaya, masyarakat Tionghoa juga diwajibkan untuk memiliki dokumen administrasi seperti Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan surat K-4 untuk membuktikan status kewarganegaraan mereka.
Meski demikian, etnis Tionghoa tetap memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia. Banyak dari mereka yang menjadi pengusaha sukses dan berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi pada masa Orde Baru. Namun, keberhasilan ini juga menimbulkan stereotip bahwa seluruh etnis Tionghoa kaya raya, yang memunculkan ketegangan sosial, terutama saat kerusuhan massal 1998.
Setelah reformasi dan runtuhnya Orde Baru, kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid, yang memungkinkan mereka kembali mengekspresikan budaya mereka tanpa hambatan. Meskipun begitu, diskriminasi sosial terhadap etnis Tionghoa tidak serta-merta hilang dan masih ada di beberapa lapisan masyarakat hingga saat ini.(*)