Istilah Imlek yang Hanya Dikenal di Indonesia: Berawal dari Ketakutan terhadap Budaya China

Istilah Imlek Hanya dikenal di Indonesia.- Foto Google/Net--
Radarlambar.bacakoran.co - Perayaan Tahun Baru China, yang dikenal sebagai Imlek di Indonesia, memiliki sejarah yang unik. Menariknya istilah imlek hanya digunakan di Indonesia, sedangkan di China perayaannya disebut dengan nama yang berbeda.
Perbedaan ini bukan sekadar soal tradisi, tetapi juga berkaitan dengan aspek politik. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan yang membatasi ekspresi budaya China, salah satunya adalah perayaan Tahun Baru. Kebijakan ini dipengaruhi oleh pandangan Presiden Soeharto yang sangat menentang komunisme, ideologi yang dianut oleh pemerintah China. Menurut Soeharto, kebebasan dalam merayakan budaya China dapat menjadi ancaman terhadap ideologi Pancasila, sehingga akhirnya perayaan tersebut dilarang.
Pada waktu itu, Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 yang mengatur larangan terhadap berbagai ekspresi budaya yang terkait dengan China. Larangan ini mencakup penggunaan bahasa Mandarin, musik berbahasa China, hingga perayaan Tahun Baru China.
Sebagaimana diungkapkan oleh Siew-Min Sai dan Chang-Yau Hoon dalam Chinese Indonesians Reassessed (2013), kebijakan tersebut juga mempengaruhi perubahan dalam penamaan. Di China perayaan ini disebut Sin Cia dalam bahasa Mandarin, akan tetapi di Indonesia, pemerintah mengganti istilah tersebut dengan Imlek.
Kata Imlek berasal dari dialek Hokkien, dimana "im" berarti bulan sedangkan "lek" berarti penanggalan yang secara harfiah berarti kalender bulan. Karena pengaruh kebijakan tersebut, istilah "Imlek" hanya dikenal di Indonesia, dan hal ini terkait erat dengan terbatasnya ruang untuk merayakan kebudayaan China pada masa itu. Pada era Orde Baru, masyarakat Tionghoa hanya bisa merayakan Imlek secara sembunyi-sembunyi tanpa libur resmi.
Namun, seiring dengan berakhirnya rezim Orde Baru dan dimulainya era reformasi, pemerintahan Presiden B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid mencabut berbagai kebijakan diskriminatif terhadap masyarakat Tionghoa. Meskipun demikian, meski kebebasan telah kembali, stigma terhadap kelompok Tionghoa tidak serta merta hilang begitu saja. (*)