Narasi Ancaman Asing: Ketika Trump dan Prabowo Bicara Senada

Presiden RI Prabowo Subianto.-Foto Kemenkeu-
Radarlambar.bacakoran.co -Isu keterlibatan pihak asing dalam urusan dalam negeri kembali mencuat dalam pernyataan dua pemimpin dunia—Donald Trump di Amerika Serikat dan Presiden Prabowo Subianto di Indonesia. Keduanya mengangkat topik yang sama: ancaman terhadap kedaulatan negara dari campur tangan eksternal, meski dengan konteks yang berbeda.
Di Amerika Serikat, Donald Trump kembali menarik perhatian lewat pidato berapi-api yang menyoroti isu imigrasi. Dalam kampanyenya yang semakin intens, Trump menuding para pengunjuk rasa yang menentang kebijakan deportasi sebagai bagian dari upaya sistematis untuk melemahkan otoritas nasional. Ia memposisikan para imigran gelap sebagai ancaman nyata terhadap keamanan, keteraturan, dan kedaulatan AS. Trump bahkan menyebut akan melakukan penangkapan besar-besaran terhadap imigran ilegal setiap hari jika kembali berkuasa.
Di sisi lain dunia, Presiden Prabowo Subianto menyuarakan kekhawatiran serupa, namun dalam versi yang lebih mengakar pada pengalaman sejarah Indonesia. Dalam pidatonya pada peringatan Hari Lahir Pancasila, Prabowo menyoroti pola lama intervensi kekuatan asing yang menggunakan perbedaan internal sebagai senjata untuk memecah belah bangsa. Ia menyebut polarisasi sebagai strategi klasik yang terus dipakai untuk melemahkan Indonesia dari dalam.
Kekhawatiran Prabowo tak hanya bersifat retoris. Ia secara terbuka mengungkap kecurigaan terhadap keberadaan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dinilainya digunakan sebagai alat pengaruh asing. Menurutnya, pendanaan dari luar negeri sering kali membawa agenda terselubung yang berisiko mengganggu ketahanan nasional dan kohesi sosial.
Baik Trump maupun Prabowo sama-sama menyoroti pentingnya sikap waspada terhadap infiltrasi asing. Namun, pendekatan keduanya mencerminkan latar belakang dan konteks masing-masing negara. Di Amerika, isu ini berpadu dengan debat soal imigrasi dan supremasi hukum. Di Indonesia, narasi ini menyatu dengan semangat menjaga persatuan dalam keberagaman serta mempertahankan kemandirian dalam dinamika global.
Keduanya tampak menyuarakan seruan yang serupa: negara harus berdiri tegak tanpa dikendalikan oleh kekuatan eksternal, entah itu lewat jalur imigrasi, pendanaan, atau pengaruh budaya. Di tengah dunia yang semakin saling terhubung, pesan ini menjadi pengingat tentang pentingnya menjaga integritas nasional di tengah arus globalisasi yang tak terelakkan. (*)