Radarlambar.bacakoran.co -Isu tentang keberadaan “Partai Coklat” dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 2024 kini semakin hangat dibicarakan oleh berbagai kalangan, mulai dari pengamat hingga partai politik. Isu ini berkembang seiring dengan dugaan keterlibatan aparat keamanan, seperti TNI, Polri, serta aparatur sipil negara (ASN), yang diduga ikut campur dalam mengarahkan kemenangan calon kepala daerah tertentu. Banyak yang berpendapat bahwa hal ini merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan politik yang tidak sehat.
Namun, Pengamat Kebijakan Publik Methodeus Kossay memberikan pandangannya terkait isu ini. Ia menyatakan bahwa isu "Partai Coklat" tidak boleh diterima begitu saja tanpa adanya bukti yang jelas. Kossay berpendapat bahwa isu ini lebih merupakan sebuah framing yang sengaja dibangun oleh politisi untuk mengalihkan perhatian publik dari proses demokrasi yang sebenarnya. Oleh karena itu, ia mengingatkan masyarakat agar tidak terbawa arus narasi yang berkembang, karena hal ini bisa merusak kredibilitas mereka dalam memilih dan menentukan arah demokrasi Indonesia.
Kossay menambahkan bahwa meskipun isu ini muncul akibat dugaan ketidaknetralan aparat dalam Pilkada serentak 2024, ia tidak melihat bahwa hal tersebut bisa digunakan sebagai dasar untuk menghakimi kelompok atau individu tertentu. Sebaliknya, ia menganggap isu ini harus menjadi bahan introspeksi bagi semua pihak agar pelaksanaan Pemilu tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat.
Dampak Potensial dari Isu Partai Coklat
Jika dugaan ketidaknetralan ini terbukti, dampaknya bisa sangat besar. Salah satu potensi yang bisa terjadi adalah menurunnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Jika masyarakat merasa bahwa hasil Pemilu sudah “ditentukan” sebelumnya oleh kekuatan tertentu, mereka mungkin akan kehilangan kepercayaan pada sistem demokrasi dan enggan untuk terlibat. Ini tentu akan merugikan demokrasi kita, karena partisipasi aktif masyarakat adalah salah satu pilar utama dalam memastikan proses Pemilu berjalan adil.
Selain itu, isu ini juga bisa memengaruhi kualitas pemimpin yang akan terpilih di masa depan. Jika Pemilu hanya dijadikan ajang untuk kepentingan golongan atau pribadi, pemimpin yang terpilih kemungkinan besar akan lebih mengutamakan kepentingan kelompok tertentu daripada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini tentu akan berpengaruh pada kualitas pembangunan daerah, bahkan bisa menghambat kemajuan sosial dan ekonomi.
Kossay mengingatkan bahwa jika kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut, kualitas pemimpin yang terpilih di masa depan akan lebih ditentukan oleh kepentingan-kepentingan elit, bukan oleh kemampuan mereka untuk membawa perubahan positif bagi masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak untuk menjaga agar proses Pemilu tetap bersih dari intervensi politik yang merugikan.
Mengutamakan Profesionalisme dalam Penyelenggaraan Pemilu
Melihat potensi dampak buruk dari isu ini, Kossay menekankan perlunya profesionalisme dari penyelenggara Pemilu, terutama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurutnya, Bawaslu harus bekerja dengan integritas tinggi, dan apabila ada pelanggaran ketidaknetralan oleh aparat, baik itu TNI/Polri atau ASN, maka Bawaslu harus segera mengambil tindakan yang tegas.
Ia juga menegaskan bahwa Bawaslu tidak boleh sekadar menjalankan tugasnya sebagai formalitas. Jika ada pelanggaran yang jelas, Bawaslu harus bertindak cepat dan sesuai dengan aturan yang berlaku, agar tidak ada pelanggaran yang dibiarkan begitu saja. (*)
Kategori :