Radarlambar.bacakoran.co- Pakar mengungkapkan alasan mengapa harimau sumatera menyerang warga di Lampung Barat dalam beberapa waktu terakhir. Ahli konservasi keanekaragaman hayati dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hendra Gunawan menyampaikan alasan dibalik maraknya serangan harimau sumatera di Lampung Barat baru-baru ini. Ia menyebut, peningkatan konflik antara satwa dan manusia disebabkan oleh kompetisi atau perebutan ruang dan atau makanan.
Dia menjelaskan satwa besar seperti harimau, biasanya memebutuhkan habitat luas dan singgungan dengan manusia yang sama-sama membutuhkan ruang yang sama yakni hutan, membuat munculnya kompetisi ini. Padahal hutan ialah habitat asli hewan tersebut.
“Jika makanan satwa juga berkurang, misalnya karena diburu, berarti juga ada kompetisi satwa dan manusia untuk memperebutkan makanan. Ketika makanan di habitat alaminya suah kurang maka satwa akan mencari makan di area-area manusi, seperti di kebun bahkan di permukiman," ujar Hendra seperti dikutip dari CNN pada Minggu 22 September 2024.
Ia menduga faktor yang menjadi dalang peningkatan konflik ini ialah harimau sumatera yang ruang habitatnya kian sempit dan makanannya di alam semakin sedikit
Selain itu, ia juga menduga peningkatan populasi harimau yang tidak sebanding dengan luas habitatnya menjadi faktor lain nya, menurutnya hal ini lah yang akan mendorong satwa yang baru lahir tak kebagian ruang sampai akhirnya keluar ke perkebunan bahkan pemukiman warga disekitar hutan.
Untuk catatan, satwa karnivora jantan seperti kucing besar memunyai sifat territorial dan biasanya menandai wilayah teritorinya dengan urin, feces atau pun cakaran di pohon maupun tanah. Wilayah teritori ini dipertahankan dari individu para jantan lain.
Selain itu makanan dan betina di wilayah teritorinya ialah miliknya atau berada di bawah kekuasannya. Apabila ada jantan lain masuk maka akan terjadi perkelahian untuk memperebutkan teritori itu dan yang kalah akan keluar mencari daerah lain untuk mencari makan an atau betina lain.
Menghindari manusia
Dilansir dari restorasi ekosistem Riau, sebetulnya harimau sumatera lebih suka menghindari manusia dibanding menyerang. Harimau sumatra ialah makhluk soliter/penyendiri dan diketahui sangat protektif terhadap wilayah mereka.
Serangan harimau kepada manusia dapat terjadi karena satwa ini merasa diserang seperti misalnya apabila harimau betina melindungi anak-anaknya atau terjadi perubahan perilaku karena harimau sedang sakit, tidak sehat atau mulai menua.
Dia menambahkan, secara alami satwa akan lebih sering menghindari manusia dan keramaian . Sehingga secara alami mereka akan mengambil jarak ratusan meter atau hingga beberapa kilometer dari kebun atau pun pemukiman , jarak ini biasanya disebut sebagai efek tepi .
“Logikanya tidak ada macan yang duduk -duduk dipinggir jalan tol, walaupun jalan tol itu ada di dalam hutan , karena macan lebih memilih mengambil jarak beberapa ratus meter guna menghindari manusia dan keramaian," paparnya.
Dengan demikian, ketika ada konflik antara satwa manusia maka kondisi yang ada sudah sangat serius.
“perilaku satwa itu sudah berubah, sehingga tidak lagi menghindari atau pun takut dengan manusia. Kondisi hutannya mungkin sudah menyusut banyak atau sudah terfragmentasi berat, ”kata dia.
Ia menyebut solusi untuk masalah semacam ini tidak boleh parsial dan harus komprehensif serta terintegrasi. Sejumlah solusi yang mungkin dilakukan ialah memperluas habitat dengan menetapkan kawasan konservasi baru atau dengan merestorasi habitat yang telah rusak. Restorasi habitat karnivora juga bagian dari kegiatan meningkatkan populasi mangsanya.
Selain itu, perlu pengendalian populasi satwa , dikurangi sampai batas daya dukungnya dan selebihnya dipindahkan dengan ditranslokasi ke hutan lain atau reintroduksi ke hutan yang sebelumnya merupakan daerah sebaran alami spesies itu.
Sebab, kata hendra, bangsa kucing termasuk yang mudah berkembang biak sehingga populasinya pasti terus meningkat. Untuk itu upaya pengendalian populasi mestinya sudah direncanakan serta dilakukan sebelum daya dukung terlampaui atau sebelum menjadi konflik. (*)