Radarlambar.bacakoran.co - Laporan terbaru dari Bank Dunia melalui publikasi Macro Poverty Outlook pada April 2025 mengungkapkan data yang cukup mengejutkan: lebih dari 60 persen penduduk Indonesia, atau sekitar 171,91 juta jiwa, dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Temuan ini tampak bertolak belakang dengan status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas sejak 2023.
Bank Dunia menggunakan standar pengeluaran sebesar 6,85 dolar AS per kapita per hari dalam satuan Purchasing Power Parity (PPP) 2017, atau sekitar Rp 41.052 per orang per hari, sebagai ambang batas kemiskinan. Berdasarkan standar ini, sebagian besar penduduk Indonesia ternyata masih belum mampu memenuhi ambang tersebut, yang mencerminkan kerentanan mereka terhadap risiko kemiskinan meskipun secara makroekonomi negara menunjukkan pertumbuhan.
Data juga menunjukkan bahwa pada 2024, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi yang stabil di angka 5 persen. Pertumbuhan ini ditopang oleh permintaan domestik yang kuat serta belanja pemerintah menjelang pemilu. Namun, di balik angka yang solid ini, kualitas lapangan kerja yang tersedia masih menjadi tantangan. Pekerjaan yang layak dan sesuai dengan keterampilan masyarakat belum tersebar merata, sehingga masih banyak warga yang hanya bekerja secara paruh waktu atau di sektor informal dengan pendapatan rendah.
Tingkat pengangguran nasional memang mengalami penurunan hingga 4,8 persen, tetapi angka underemployment atau pengangguran terselubung justru naik menjadi 8,5 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa banyak orang bekerja dalam kapasitas yang tidak optimal, baik dari sisi jam kerja maupun kecocokan keterampilan.
Indonesia sendiri menargetkan untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045. Untuk mencapainya, diperlukan percepatan pertumbuhan ekonomi hingga minimal 6 persen per tahun, dengan sasaran jangka menengah mencapai 8 persen pada 2029. Upaya ini diharapkan akan ditopang oleh peningkatan investasi serta reformasi struktural yang menyentuh sektor keuangan, perdagangan, dan efisiensi alokasi sumber daya.
Sayangnya, tren produktivitas nasional menunjukkan penurunan dalam satu dekade terakhir. Pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP), yang menjadi indikator efisiensi dan daya saing ekonomi, mengalami penyusutan dari 2,3 persen pada 2011 menjadi hanya 1,2 persen pada 2024. Ini menjadi sinyal perlunya pembenahan mendalam dalam struktur ekonomi nasional.
Sementara itu, otoritas statistik di Indonesia menganggap bahwa standar kemiskinan dari Bank Dunia bersifat sebagai referensi global, bukan acuan mutlak yang harus diadopsi secara langsung oleh pemerintah. Data tersebut lebih dilihat sebagai panduan untuk memahami posisi Indonesia dalam konteks global, ketimbang penentu kebijakan sosial secara spesifik.
Kesimpulannya, meskipun Indonesia telah mencapai status ekonomi yang lebih tinggi di mata internasional, sebagian besar penduduknya masih menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Hal ini menegaskan pentingnya pemerataan pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk memastikan kemajuan ekonomi benar-benar berdampak luas bagi seluruh lapisan masyarakat. (*/rinto)