Rumah Subsidi Mungil, Solusi Ekonomi atau Kejam Kehidupan?

Arsitek dan pengamat properti menentang rencana pemerintah mengecilkan rumah subsidi jadi tinggal 18 meter persegi karena tak manusiawi. Foto-CNN Indonesia--
Radarlambar.bacakoran.co - Pemerintah melalui Menteri Perumahan Maruarar Sirait alias Ara mengusulkan pengurangan ukuran rumah subsidi hingga 18 m². Ide ini muncul sebagai respons terhadap keterbatasan lahan di perkotaan dan tingginya harga tanah. Generasi muda yang ingin tinggal dekat tempat kerja, namun terbentur biaya, bisa terbantu lewat hunian mikro seperti skema kapsul di hotel.
Ara bahkan mengkaji ulang standar subsidi menjadi 25 m² lahan dengan bangunan hanya 18 m². Sejumlah pengembang khususnya Lippo Group bereksperimen desain rumah mungil di kisaran 14-18 m², dengan harga estimasi Rp100-140 juta. Meski demikian, harga tersebut hanya berlaku di kawasan pinggiran seperti Cikampek atau Purwakarta, bukan area pusat kota seperti Jakarta atau Bogor.
Rancangan mikro-housing ini memiliki pendukung utama di kalangan ekonom dan pengembang. Mereka menilai rumah murah ukuran kecil bisa menjangkau segmen yang selama ini terpaksa kos panjang atau mengontrak mahal. Diimbuhkan lewat desain efisien dan harga terjangkau, hunian ini bisa memenuhi kebutuhan dasar: tidur, memasak ringkas, dan mandi.
Namun argumen serius datang dari para arsitek dan konsultan properti. Ketua Ikatan Arsitek Indonesia menegur bahwa hunian sedemikian kecil melanggar standar ruang hidup layak. Organisasi internasional seperti UN Habitat dan WHO menetapkan kebutuhan ruang terbuka hijau minimal 9-10 m² per orang. Sementara aturan teknis PUPR menuntut luas minimal 7,2 m² per orang dalam sebuah hunian. Artinya, rumah 14-18 m² terutama jika ditinggali sekeluarga tidak mampu memberikan ruang gerak sosial dan fisik yang sehat.
Kepala Riset Colliers Indonesia menambahkan bahwa unit seluas itu lebih cocok untuk kos-kosan daripada rumah keluarga. Sederhananya, orang akan rela membeli hunian jika cukup untuk tinggal dan menerima tamu. Pada rumah micro-housing, kondisinya mirip dengan "penjara psikologis" ruang terlalu kecil bisa memicu stres dan konflik keluarga.
Kedua pakar sepakat: solusi ruang untuk generasi muda perkotaan adalah vertikal, bukan miniatur rumah tapak. Apartemen atau rusun dengan unit 14 -18 m² disertai fasilitas publik, lobi, taman atap, koridor bersama dinilai lebih manusiawi.
Unit kecil masih bisa masuk akal jika fungsi sosial seperti menerima tamu, olahraga, dan interaksi dilakukan di area bersama. Pendekatan ini juga mengatasi tekanan ruang di kota besar tanpa kendala lahan.
Lippo Group menyatakan rumah mikro bisa dijual murah hingga Rp100 juta, selama dibangun di area pinggiran. Namun di pusat kota, harga tanah meskipun tanah negara membuat target harga negara (Rp166-182 juta per unit subsidi) tidak realistis. Regulasi saat ini juga tidak memiliki format khusus untuk unit sekecil ini.
Badan seperti Kementerian PUPR perlu mengevaluasi ulang regulasi teknisnya. Jika unit diringkas, harus disertai standar ruang bersama, ventilasi, aksesibilitas dan keamanan yang memadai. Tanpa itu, wacana subsidi ini rentan mengorbankan kualitas hidup demi kuantitas.
Wacana rumah subsidi 18 m² memperlihatkan dilema nyata: menurunkan harga hunian atau mempertahankan kemanusiaan di kota-kota padat. Tanpa standar layak huni dan integrasi vertikal, skema ini bisa menimbulkan permukiman non-kelayakan padat, sempit, namun tanpa keseimbangan hidup.
Jika pemerintah ingin benar-benar menurunkan harga, pendekatan yang lebih inklusif bisa dilakukan: dorong pengadaan lahan publik, cetak rusun vertikal "dengan hati" bukan rumah mikro tanpa ruang publik. Dengan demikian, generasi muda tetap bisa punya rumah murah dan ruang hidup yang manusiawi. (*/edi)